Kamis, 29 Maret 2012

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BUKU KESATU

ORANG DAN KELUARGA

Bab I
Menikmati dan kehilangan hak-hak kewarganegaraan
1.    Penikmatan hak-hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.
2.    Anak dalam kandungan seorang wanita dianggap telah lahir, setiap kali kepentingannya menghendakinya. Bila telah mati waktu dilahirkan, anak tersebut dianggap tidak pernah ada. (KUHPerd. 348, 489, 758, 836, 899, 1679)
3.    Tiada suatu hukuman apapun dapat mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya seluruh hak-hak kewarganegaraan (ISR. 144.)
§  Catatan: Diumumkan dengan Informasi tgl. 30 April 1847, S. 1847-23.

Bab II 
Akta-akta catatan sipil
Bagian 1
Daftar catatan sipil pada umumnya
4. (Sdu dg. S. 1916-38 jo. S. 1917-18; S. 1907-205 pasal 3 jo. S. 1919-816; S. 1937-595.) Tanpa mengurangi ketentuan pasal 10 Ketentuan-ketentuan Umum Perundang- undangan di Indonesia, maka untuk golongan Eropa di seluruh Indonesia ada daftar kelahiran, daftar lapor kawin, daftar izin kawin, daftar perkawinan dan perceraian, dan daftar kematian. (KUHPerd. 5; BS. 1.) Pegawai yang ditugaskan menyelenggarakan daftar-daftar itu, disebut pegawai catatan sipil.
5. Pemerintah (Gouverneur-Generaal), setelah mendengar Mahkamah Agung (Hooggerechtshof), dengan peraturan tersendiri, menentukan tempat dan cara menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, demikian pula cara menyusun akta-aktanya dan ketentuan yang harus diindahkan. Dalam peraturan itu juga ditetapkan hukuman-hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh pegawai catatan sipil, sejauh dalam hal itu belum atau tidak akan diatur dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. (KURP 436, 556 dst. Lihat peraturan BS. Golongan Eropa, Indonesia dan Indonesia-Kristen dan catatan di bawah judul BS.)
Bagian 2
Nama, perubahan nama, dan perubahan nama depan
5a. (Sdt dg. S. 1937-595.) Anak sah, dan juga anak tak sah tetapi yang diakui oleh ayahnya, menyandang nama keturunan ayahnya; anak yang tidak diakui oleh ayahnya, menyandang nama keturunan ibunya. (KUHperd. 250 dst., 255, 256 dst., 261, 272 dst., 280, 283 dst., 306; BS. 41.).
6. Siapa pun tidak diperkenankan mengganti nama keturunannya, atau menambahkan nama lain pada namanya tanpa izin pemerintah. (BS. 28, 40; S. 1824-13 pasal 2; S. 1837-11; S. 1867-168 s V; S. 1917-12.) (Sdt dg. S. 1937-595.) Barangsiapa tidak dikenal nama-keturunannya atau nama depannya, bisa mengambil suatu nama-keturunan atau nama-depan dengan izin pemerintah.
7. (Sdu dg. S. 1937-595 dan S. 1941-370.) Permohonan untuk itu tidak dapat dikabulkan sebelum habis jangka waktu empat bulan, terhitung mulai dari hari pemberitaan permohonan itu dalam Berita Negara. (S. 1883-192 pasal 3.)
8. (Sdu dg. S. 1883-190.) Selama jangka waktu tersebut dalam pasal yang lalu, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan kepada pemerintah, dengan surat permohonan, dasar-dasar yang mereka anggap menjadi keberatan untuk menentang permohonan tersebut di atas. (S. 1883-192 pasal 3.)
9. (Sdu dg. S. 1937-595.) Bila dalam hal yang dimaksud dalam alinea pertama pasal 6 permohonan dikabulkan, maka surat penetapannya harus disampaikan kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal si pemohon, dan pegawai itu harus menuliskannya dalam buku daftar yang paling akhir , dan membuat catatan tentang hal itu pada tepi akta kelahiran si pemohon. (BS. 26.) (Sdt dg. S. 1937-595.) Surat penetapan yang diberikan berkenaan dengan dikabulkannya permohonan termaksud dalam pasal 6 alinea kedua, dibukukan dalam daftar kelahiran yang paling akhir di tempat tinggal yang bersangkutan, dan dalam hal termaksud dalam pasal 43 alinea pertama Reglemen tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa, dicatat pula pada tepi akta kelahiran. (Sdt dg. S. 1937-595.) Bila suatu permohonan tidak dikabulkan seperti yang dimaksud pada alinea yang lalu, pemerintah dapat memberikan nama-keturunan atau nama-depan kepada yang berkepentingan. Surat penetapan ini harus diperlakukan sesuai dengan pasal yang lalu.
10. (Sdu dg. S. 1937-595.) Diperolehnya suatu nama sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam keempat pasal yang lalu, sekali-kali tidak dapat diajukan sebagai bukti adanya hubungan sanak-saudara. (KUHPerd. 262; S. 1883-192 pasal 3.)
11. Tidak ada seorang pun bisa mengubah nama-depannya atau menambahkan nama-depan pada namanya, tanpa izin pengadilan negeri (raad van justitie) tempat tinggalnya atas permohonan untuk itu, setelah mendengar jawatan kejaksaan (openbaar ministrie). (BS. 40.)
12. Bila pengadilan negeri mengizinkan penggantian atau penambahan nama-depan, maka surat penetapannya harus disampaikan kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal si pemohon, dan pegawai itu harus membukukannya dalam daftar yang paling akhir, dan mencatatnya pula pada tepi akta kelahiran. (BS. 26.)
Bagian 3
Koreksi akta catatan sipil, dan penambahannya. (S. 1836-16.)
13. Bila daftar tidak pernah ada, atau telah hilang, dipalsu, diubah, robek, dimusnahkan, digelapkan atau dirusak, bila ada akta yang tidak terdapat dalam daftar itu, atau bila dalam akta yang dibukukan terdapat kesesatan, kekeliruan atau kesalahan lain, maka hal-hal itu dapat menjadi dasar untuk mengadakan penambahan atau perbaikan dalam daftar itu. (BS. 26 dst., 36; KUHPerd. 14, 101; S. 1854-40, lihat BS. 67.)
14. Permohonan untuk itu hanya dapat diajukan ke pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya daftar-daftar itu diselenggarakan atau seharusnya diselenggarakan, dan untuk itu pengadilan negeri akan mengambil keputusan setelah mendengar jawatan kejaksaan dan pihak-pihak yang berkepentingan bila ada cukup alasan dan dengan tidak mengurangi kesempatan banding. (Rv. 844 dst.)
15. Hasil ini hanya berlaku antara pihak-pihak yang telah meminta, atau yang pernah disebut. (KUHPerd. 1917.)
16. Semua keputusan tentang pembetulan atau penambahan pada akta, yang telah memperoleh kekuatan tetap, harus dibukukan oleh pegawai catatan sipil dalam daftar-daftar yang paling akhir segera setelah diperlihatkan dan bila ada perbaikan, hal itu harus diberitakan pada margin akta yang diperbaiki, sesuai dengan ketentuan- ketentuan Reglemen tentang Catatan Sipil. (BS. 26; Rv. 166.)
Bab III
Tempat tinggal atau domisili
17. Setiap orang dianggap bertempat tinggal di tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila tidak ada tempat tinggal yang demikian, maka tempat yang sesungguhnya dianggap sebagai tempat tinggalnya. (Rv. 6-7?, 99.)
18. Perubahan tempat tinggal terjadi dengan pindah rumah secara nyata ke tempat lain disertai niat untuk menempatkan pusat kediamannya di sana. (KUHPerd. 19, 53 dst.)
19. Niat itu dibuktikan dengan menyampaikan pernyataan kepada kepala pemerintahan, baik di tempat yang ditinggalkan, maupun di tempat tujuan pindah rumah kediaman. (KUHP 515; S. 1919-573 jis. 1931-373, 423.) Bila tidak ada pernyataan, maka bukti tentang adanya niat itu harus disimpulkan dari kondisi sebenarnya.
20. Mereka yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum, dianggap bertempat tinggal di tempat mereka bertugas. (RO. 21; Rv. 99.)
21. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Seorang wanita yang telah kawin dan tidak pisah meja dan ranjang, tidak memiliki tempat tinggal lain dari tempat tinggal suaminya; anak-anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal salah satu dari kedua orang tua mereka yang melakukan kekuasaan orang tua atas mereka, atau tempat tinggal wali mereka; orang-orang dewasa yang berada di bawah pengampuan mengikuti tempat tinggal pengampu mereka. (KUHPerd. 106, 207, 211, 242, 298, 301, 383, 452.)
22. (Sdu dg. S. 1926-335 jis. 458, 565 dan S. 1927-108.) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal yang lalu, buruh memiliki tempat tinggal di rumah majikan mereka bila mereka tinggal serumah dengannya. (KUHPerd. 17-2, 1061a dst.)
23. Yang dianggap sebagai rumah kematian seseorang yang meninggal dunia adalah rumah tempat tinggalnya yang terakhir. (KUHPerd. 1023; Rv. 7, 99; Weesk. 47.)
24. Dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua pihak atau salah satu pihak bebas untuk memilih tempat tinggal yang lain dari tempat tinggal yang sebenarnya. Pemilihan itu dapat dilakukan secara mutlak, bahkan sampai meliputi pelaksanaan keputusan hakim, atau dapat dibatasi sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak atau salah satu pihak. Dalam hal ini surat-surat juru sita, gugatan-gugatan atau tuntutan-tuntutan yang tercantum atau termaksud dalam akta itu, bisa dilakukan di tempat tinggal yang dipilih dan di muka hakim tempat tinggal itu.(KUHPerd. 1186, 1194, 1393, 1405, 1412; Rv. 8, 13, 85, 99, 106 dst., 411, 443, 461, 477, 504, 533, 550, 561, 594, 597, 601, 606 , 655, 662, 666, 729, 816, 860 dst.)
25. Bila hal sebaliknya tidak disepakati, masing-masing pihak bisa mengubah tempat tinggal yang dipilih untuk dirinya, asalkan tempat tinggal yang baru tidak lebih dari sepuluh pal jauhnya dari tempat tinggal yang lama dan perubahan itu diberitahukan kepada pihak yang lain.

Bab IV
Perkawinan
Catatan: Ketentuan-ketentuan perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dalam peraturan-peraturan lain, oleh Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku lagi, sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Ketentuan Umum.
26. Hukum memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. (KUHPerd. 81.)
Bagian 1
Syarat dan segala sesuatu yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan perkawinan
Lihat Peraturan Peralihan mengenai diberlakukannya perundang-undangan anak-anak S. 1927-31 jis. 390, 421 sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
27. Pada waktu yang sama, seorang pria hanya bisa terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang pria saja. (KUHPerd. 60-41?, 62, 63-2?, 65, 70-4?, 83, 86, 93, 95 dst., 493 dst.; KUHP 279 dst.)
28. Dasar perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri. (KUHPerd. 61-3?, 4?, 62, 63-2?, 65, 83, 87 dst., 95 dst. 901.)
29. Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. (ISR. 43; KUHPerd. 61-4?, 62, 63-2?, 65, 83, 89; BS. 55, 61; W & B II-283.)
30. Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya memiliki hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik laki-perempuan, sah atau tidak sah. (KUHPerd. 61-4?, 62, 63-2?, 65, 83, 90, 93, 95 dst., 98, 290, 295, 297.)
31. Perkawinan juga dilarang karena alasan-alasan berikut: 1?. (Sdu dg. S. 1941-370.) Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain; 2?. antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini. (ISR. 43; KUHPerd. 29, 61-4?, 62, 63-2?, 65, 83, 90, 93, 95 dst., 98, 295, 297.)
32. Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinahnya itu. (KUHPerd. 61-4?, 62, 63 - 2?, 65, 83, 90, 93, 95 dst., 98, 209.)
33. (Sdu dg. S. 1923-31.) Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 3? atau 4?, tidak bisa untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang. (KUHPerd. 61-4?, 62, 63-2?, 65, 83, 90, 93, 199, 207 dst., 232a, 268, 493.)
34. Seorang wanita tidak bisa melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir. (KUHPerd. 61-4?, 62, 63-2?, 64 dst., 71-4?, 93, 99, 252, 494 dst.)
35. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dari mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga-keluarga sedarah atau keluarga-keluarga sĕmĕnda. Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam kondisi tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain. (KUHPerd. 37, 40 dst., 49, 61-1?, 71-2?, 5?, 83, 91, 151, 299 dst., 330, 424, 458, 901; BS. 61-4?.)
36. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain dari ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas.Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu. (KUHPerd. 42, 49, 62, 71-2?, 5?, 83 dst., 91, 151, 424, 901; BS. 61-4?.)
37. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam kondisi tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam kondisi yang sama. Bila orang lain dari orang-orang tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak dibawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya dibutuhkan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya (KUHPerd. 49, 62, 71-2?, 5?, 83 dst. , 91 151, 424, 497, 901; BS. 61-4?.)
38. (Sdu dg. S 1927-31 jis. 390, 421.) Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak bisa melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga sĕmĕnda. (KUHPerd.) 39, 49 61-2?, 63 dst; KUHP 524.)
39. (Sdu dg. 1927-31 jis. 390, 421.) Anak luar kawin yang diakui sah, selama masih di bawah umur, tidak bisa melakukan perkawinan tanpa izin ayah dan ibu yang mengakuinya, sejauh kedua-duanya atau salah seorang masih hidup dan tidak berada dalam kondisi tak mampu menyatakan kehendak mereka. Kapan saat hidup ayah atau ibu yang mengakuinya, orang lain yang melakukan perwalian atas anak itu, maka harus pula diperoleh izin dari wali itu atau dari wali pengawas bila izin itu diperlukan untuk perkawinan dengan wali itu sendiri atau dengan salah seorang dari keluarga sedarah dalam garis lurus . Bila terjadi perselisihan pendapat antara mereka yang izinnya dibutuhkan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberi izin itu, maka pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan , setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik ayah maupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam kondisi tidak mampu menyatakan kehendak mereka, dibutuhkan izin dari wali dan wali pengawas. Bila keduanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga sĕmĕnda.
40. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak bisa melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila keduanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak. (KUHP 524.)
41. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding. (Sdu dg. S. 1927-456.) Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, bisa dilimpahkan ke pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka , dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga sĕmĕnda. Mereka yang disebut pertama, atau mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam pasal 334.
42. (Sdu S. 1927-31 jis. 390, 421.) Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia bisa memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.
43. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam waktu tiga minggu, atau dalam jangka waktu yang lain jika dianggap perlu oleh pengadilan negeri, terhitung dari hari pengajuan surat permohonan itu, pengadilan harus berusaha menghadapkan si ayah dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Tentang pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.
44. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.
45. Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan. (KUHPerd. 47, 48.)
46. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak bisa dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan itu.
47. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya.
48. (Sdu dg. S. 1928-546.) Jika kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam pasal 42 sampai dengan pasal 47.
49. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau sementara di Indonesia. (S. 1927-31, peraturan peralihan.)
Bagian 2
Acara yang harus mendahului perkawinan
50. Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memberitahukan hal itu kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal salah satu pihak. (KUHPerd. 17; BS. 54 dst.)
51. Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik secara langsung, maupun dengan surat yang dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu harus dibuat sebuah akta oleh pegawai catatan sipil. (BS. 54 dst.)
52. (Sdu dg. S. 1916-339 jo. S. 1917-18.) Sebelum pelaksanaan perkawinan itu, pegawai catatan sipil harus mengumumkan hal itu dan menempel surat pengumuman pada pintu utama gedung tempat penyimpanan daftar-daftar catatan sipil itu. Surat itu harus tetap tertempel selama sepuluh hari. Pengumuman itu tidak bisa dilangsungkan pada hari Minggu; yang disamakan dengan hari Minggu dalam hal ini adalah hari Tahun Baru, hari Paskah kedua dan Pantekosta, hari Natal, hari Kenaikan Isa Almasih, dan hari Mikraj Nabi. (Sdu dg. S. 1937-595.) Surat pengumuman ini harus memuat: 1?.nama, nama depan, umur, pekerjaan tempat tinggal calon suami-istri dan, bila mereka sebelumnya pernah kawin, nama suami atau istri mereka yang dulu; 2?. hari, tempat dan jam terjadinya pengumuman. (KUHPerd. 53, 61-6?, 63-2?, 75, 82 dst., 99; BS. 54 dst.) (Sdt dg. S. 1937-595.) Surat itu ditandatangani oleh pejabat catatan sipil itu.
53. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18.) Bila kedua calon suami-istri tidak bertempat tinggal dalam wilayah catatan sipil yang sama, maka pengumuman itu akan dilakukan oleh pegawai catatan sipil di tempat tinggal masing-masing pihak . (KUHPerd. 17, 76, 83; BS. 56 dst.)
54. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18.) Bila calon suami-istri belum sampai enam bulan penuh bertempat tinggal dalam daerah suatu catatan sipil, pengumumannya harus juga dilakukan oleh pegawai catatan sipil di tempat tinggal mereka yang terakhir . (Sdu dg. S. 1937-572, S. 1939-288.) Bila ada alasan-alasan yang penting, dari kewajiban membuat pengumuman tersebut di atas dapat diberikan dispensasi oleh kepala Pemerintahan Daerah yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin. (BS. 56 dst.)
55, 56. Dihapus S. 1916-338 jo. 1917-18.
57. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18.) Bila perkawinan itu belum dilangsungkan dalam waktu satu tahun, terhitung dari waktu pengumuman, perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan, kecuali bila sebelumnya diadakan pengumuman lagi. (KUHPerd. 75.)
58. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18.) Janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu; semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Akan tetapi, jika pemberitahuan kawin itu telah diikuti oleh suatu pengumuman, maka hal itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang barangnya sebagai akibat dari penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak dapat diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini kadaluwarsa dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkawinan itu. (AB 23; KUHPerd. 154, 1243 dst., 1305, 1320, 1335, 1337.)
Bagian 3
Pencegahan perkawinan
59. Hak untuk mencegah berlangsungnya perkawinan hanya ada pada orang-orang dan dalam hal-hal yang disebut dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 816 dst.)
60. Barangsiapa masih terikat oleh perkawinan dengan salah satu pihak, termasuk juga anak-anak yang lahir dari perkawinan itu, berhak mencegah perkawinan baru yang dilaksanakan, tetapi hanya berdasarkan perkawinan yang masih ada. (KUHPerd. 27, 61-4?, 62 dst., 68, 86.)
61. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18; S. 1917-497; S. 27-31 jis. 390, 421.) Ayah atau ibu bisa mencegah perkawinan dalam hal-hal berikut: 1?. bila anak mereka yang masih di bawah umur, belum mendapat izin yang menjadi syarat; 2?. bila anak mereka, yang sudah dewasa tetapi belum genap tiga puluh tahun, lalai meminta izin mereka, dan dalam hal permohonan izin itu ditolak, lalai untuk meminta perantaraan pengadilan negeri seperti yang diwajibkan menurut pasal 42; 3?. bila salah satu pihak, yang karena cacat mental berada dalam pengampuan, atau dengan alasan yang sama telah dimohonkan pengampuan, tetapi atas permohonan itu belum diambil keputusan; (KUHPerd. 434.) 4?. bila salah satu pihak tidak memenuhi persyaratan untuk melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian pertama bab ini; (KUHPerd. 27 dst., 60, 62 dt.) 5?. bila pengumuman perkawinan yang menjadi syarat tidak diadakan; (KUHPerd. 52 dst.) 6?. bila salah satu pihak, karena sifat pemboros ditaruh di bawah pengampuan dan perkawinan yang hendak dilangsungkan tampaknya akan membawa ketidak-bahagiaan bagi anak mereka. (KUHPerd. 434.) Bila yang menjalankan perwalian atas anak itu orang lain dari ayah atau ibunya, maka wali atau pengawasnya, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali, mempunyai hak yang sama dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam nomor-nomor 1?, 3?, 4?, 5? dan 6?.
62. (Sdu dg S. 1917-497; S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam hal kedua orang tua tidak ada, maka kakek-nenek dan wali atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini harus mengganti si wali berhak untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal seperti yang tercantum dalam nomor 3?, 4?, 5? dan 6?, pasal yang lalu. Kakek-nenek dan wali, atau wali pengawas, bila yang disebut terakhir ini menggantikan si wali untuk mencegah perkawinan dalam hal-hal yang tercantum pada nomor 1?, Jika izin mereka menjadi syarat
63. (Sdu dg. S. 1917-497; S. 1927 - 31 jis. 390,421.) Dalam hal kakek-nenek tidak ada, maka saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibi, demikian pula wali dan wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, berhak mencegah perkawinan: 1?. bila ketentuan-ketentuan pasal 38 dan pasal 40 mengenai memperoleh izin kawin tidak diindahkan; 2?. karena alasan-alasan seperti yang tercantum dalam nomor 3?, 4?, 5? dan 6? pasal 61. (KUHPerd. 58.)
64. Suami yang perkawinannya telah bubar karena perceraian, boleh mencegah perkawinan bekas istrinya, bila dia hendak kawin lagi sebelum lampau tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang dulu. (KUHPerd. 34, 60, 61-4?, 62, 63-2?, 65.)
65. Jawatan kejaksaan wajib mencegah perkawinan yang hendak dilangsungkan dalam hal-hal yang tercantum dalam pasal 27 sampai dengan 34. (RO. 55; KUHPerd. 94; Rv. 323)
66. Pencegahan perkawinan ditangani oleh pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya terletak tempat kedudukan pegawai catatan yang harus melangsungkan perkawinan itu. (Rv. 817.)
67. Dalam akta pencegahan harus disebutkan segala alasan yang dijadikan dasar pencegahan itu, dan tidak diperkenankan mengajukan alasan baru, sejauh hal itu tidak timbul setelah pencegahan.(BS. 59; Rv. 816.)
68. Dihapus dg. S. 1937-595, berlaku terhitung 1 Januari 1939.
69. Bila pencegahan itu ditolak, para penentang bisa dikenakan kewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika penentang itu adalah keluarga sedarah dalam garis ke atas dan garis ke bawah atau jawatan kejaksaan. (KUHPerd. 62 dst.; Rv. 58.)
70. Bila terjadi pencegahan perkawinan, pegawai catatan sipil tidak diperkenankan untuk melaksanakan perkawinan itu, kecuali setelah kepadanya disampaikan suatu putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap atau suatu akta otentik dengan mana pencegahan itu ditiadakan; pelanggaran atas ketentuan ini kena ancaman hukuman penggantian biaya, kerugian dan bunga. Bila perkawinan itu dilaksanakan sebelum pencegahan itu ditiadakan, maka perkara mengenai pencegahan itu boleh dilanjutkan, dan perkawinan dapat dinyatakan batal jika gugatan penentang dikabulkan.(KUHPerd. 71-6?, 82; BS. 59.)
Bagian 4
Pelaksanaan perkawinan
71. Sebelum melangsungkan perkawinan, pegawai catatan sipil harus meminta agar kepadanya disampaikan: 1?. akta kelahiran masing-masing calon suami-istri; (KUHPerd. 29, 35 dst.; Linda. 16.) 2?. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18; S. 1927-31 jis. 390, 421.) Akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan didaftarkan dalam daftar izin kawin, atau akta otentik lain yang berisi izin ayah, ibu, kakek nenek, wali, atau wali pengawas, atau izin yang diperoleh dari hakim, dalam hal-hal di mana izin itu diperlukan; (KUHPerd. 35 dst., 42 dst., 452.) Izin itu dapat juga diberikan pada akta perkawinan sendiri; 3?. akta yang menunjukkan adanya perantaraan pengadilan negeri; (KUHPerd. 38 dst., 41 dst.) 4?. dalam hal perkawinan kedua atau perkawinan berikutnya: akta kematian suami atau istri yang dulu, atau akta perceraian, atau salinan surat izin dari hakim yang diberikan dalam hal pihak lain dari suami atau istri tidak ada; (KUHPerd. 27, 32, 44, 493; Linda. 16.) 5?. akta kematian dari mereka yang seharusnya memberikan izin kawin; (KUHPerd. 71-2?; Linda. 16.) 6?. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S.. 1917-18.) Bukti, bahwa pengumuman perkawinan itu telah berlangsung tanpa pencegahan di tempat yang disyaratkan menurut pasal 52 dan berikutnya, atau bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah dihentikan; (KUHPerd . 70; BS. 59.) 7?. dispensasi yang telah diberikan; (KUHPerd. 29, 31, 48, 54, 56.) 8?. izin untuk para perwira dan tentara bawahan yang menjadi syarat untuk melakukan perkawinan.
72. Jika di antara calon suami-istri ada yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahiran seperti yang disyaratkan pada nomor 1? pasal yang lampau, maka hal itu dapat diganti dengan akta tanda kenal yang dikeluarkan oleh kepala Pemerintahan Daerah tempat lahir atau tempat tinggal calon suami atau istri atas keterangan dua saksi laki-laki atau perempuan, keluarga atau bukan keluarga.Keterangan ini harus menyebutkan tempat dan waktu kelahirannya secermat-cermatnya, serta sebab-sebab yang menghalanginya untuk menunjukkan akta kelahiran. Tidak adanya akta kelahiran dapat juga diganti dengan keterangan semacam itu di bawah sumpah yang diberikan oleh saksi-saksi yang harus hadir pada pelaksanaan perkawinan itu, atau dengan keterangan yang diberikan di bawah sumpah di hadapan pegawai catatan sipil oleh calon suami atau istri, dan sumpah itu berisi, bahwa dia tidak dapat memperoleh akta kelahiran atau akta tanda kenal. Dalam akta perkawinannya, keterangan yang satu dan yang lain harus dicantumkan. (KUHPerd. 13, 76 dst.; BS. 27, 61; Linda. 16.)
73. Bila para pihak tidak dapat memperlihatkan akta kematian yang disebut dalam pasal 71 nomor 5?, Maka kekurangan itu dapat diperbaiki dengan cara yang sama seperti yang tercantum dalam pasal yang lalu. (KUHPerd. 13, 82; BS. 27.)
74. Bila pegawai catatan sipil menolak untuk melangsungkan perkawinan atas dasar tidak lengkapnya surat-surat dan keterangan-keterangan yang diharuskan oleh pasal-pasal yang lalu, maka pihak-pihak yang berkepentingan berhak mengajukan surat permohonan kepada pengadilan negeri; setelah mendengar jawatan kejaksaan, bila ada alasan untuk itu, dan mendengar pegawai catatan sipil, pengadilan negeri itu secara singkat dan tanpa kemungkinan banding, akan mengambil keputusan tentang lengkap atau tidak lengkapnya surat-surat.
75. (Sdu dg. S. 1916-338 jo. S. 1917-18.) Perkawinan tidak dapat dilangsungkan, sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumuman, di mana hari itu sendiri tidak termasuk. (KUHPerd. 52, 57, 71-6?, 99.) Jika ada alasan penting, kepala Pemerintahan Daerah, yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin, berkuasa memberikan dispensasi dari pengumuman dan waktu tunggu yang diharuskan. Jika dispensasi telah diberikan, berita tentang hal itu harus ditempel secepat-cepatnya pada pintu utama gedung yang dimaksud pada alinea pertama pasal 52. Dalam berita tempel itu harus disebutkan kapan perkawinan itu akan atau telah dilaksanakan.
76. (Sdu dg. S. 1901-353 jo. S. 1905-552; S. 1932-42.) Perkawinan harus dilaksanakan di muka umum, dalam gedung tempat membuat akta catatan sipil, di hadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu pihak, dan di hadapan dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur dua puluh satu tahun dan berdiam di Indonesia. (KUHPerd. 17 dst. 53, 83, 92 dst., 99; BS. 13, 61 dst.)
77. Bila salah satu pihak, karena halangan yang terbukti cukup sah, tidak dapat pergi ke gedung tersebut, perkawinan bisa dilangsungkan dalam sebuah rumah khusus di daerah pegawai catatan sipil yang bersangkutan. Jika terjadi demikian, dalam akta perkawinan harus dicantumkan sebab-sebab terjadinya. Penilaian tentang sah tidaknya halangan tersebut dalam pasal ini, diserahkan kepada pegawai catatan sipil itu. (KUHPerd. 99; BS. 62.)
78. Kedua calon suami-istri harus datang secara pribadi menghadap pegawai catatan sipil pada waktu pelaksanaan perkawinan itu. (S. 1947-137.)
79. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa untuk mengizinkan pihak-pihak yang bersangkutan melangsungkan perkawinan mereka dengan menggunakan seorang wakil yang khusus diberi kuasa penuh dengan akta otentik. Bila pemberi kuasa itu, sebelum perkawinan itu dilaksanakan, telah kawin dengan orang lain secara sah, maka perkawinan yang telah berlangsung dengan wakil khusus dianggap tidak pernah terjadi. (KUHPerd. 27, 29, 31, 48, 58 1792 dst., 1815, 1818; BS. 12, 62.)
80. Kedua calon suami-istri, di hadapan pegawai catatan sipil dan dengan kehadiran para saksi, harus menerangkan bahwa yang satu menerima yang lain sebagai suami atau istrinya, dan bahwa dengan ketulusan hati mereka akan memenuhi kewajiban mereka, yang oleh undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami-istri. (BS. 13, 60 dst.)
81. Tidak ada upacara keagamaan yang bisa diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai catatan sipil telah berlangsung. (KUHPerd. 26; KUHP 530.)
82. Jika terjadi pelanggaran oleh pegawai catatan sipil atas ketentuan-ketentuan dalam bab ini, maka selama hal itu tidak diatur dalam aturan hukum hukum pidana, para pejabat itu bisa dihukum oleh pengadilan negeri dengan denda uang yang tidak melebihi seratus gulden, tanpa mengurangi hak pihak -pihak yang berkepentingan untuk menuntut ganti rugi, bila ada alasan untuk itu. (KUHPerd. 99; BS. 28; KUHP 530; ketentuan hukum yang terkandung dalam KUHPerd. 82 telah dihapus dengan Inv. Sv. 3.)
Bagian 5
Perkawinan-perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri
83. (Sdu dg. S. 1915-299 jo. 642.) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesama warga negara Indonesia, maupun antara warga Indonesia dan warga negara lain, adalah sah bila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami-istri yang warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam Bagian 1 bab ini. (AB 3, 16, 18; KUHPerd. 27 dst., 52 dst.; BS. 63.)
84. Dalam waktu satu tahun setelah kembalinya suami-istri ke wilayah Indonesia, akta tentang perkawinan mereka di luar negeri harus didaftarkan dalam daftar umum perkawinan di tempat tinggal mereka. (KUHPerd. 4 dst., 91, 152; BS. 1 dst., 63.)
Bagian 6
Batalnya perkawinan
85. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim. (KUHPerd. 70.)
86. Batalnya suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan pasal 27, dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan sebelumnya terikat dengan salah seorang dari suami-istri itu, oleh suami-istri itu sendiri, oleh keluarga sedarah dalam garis ke atas, oleh siapa pun yang memiliki kepentingan dengan batalnya perkawinan itu, dan oleh jawatan kejaksaan. Bila batalnya perkawinan yang terdahulu dipertahankan, maka terlebih dahulu harus diputuskan ada tidaknya perkawinan terdahulu itu. (KUHPerd. 60-65, 83, 93 dst., 493 dst.)
87. Keabsahan suatu perkawinan, yang berlangsung tanpa persetujuan bebas kedua suami-istri atau salah seorang dari mereka, hanya dapat dibantah oleh suami-istri itu, atau oleh salah seorang dari mereka yang memberikan persetujuan secara tidak bebas. Bila telah terjadi kekhilafan tentang diri orang yang dikawini, keabsahan perkawinan itu hanya dapat dibantah oleh suami atau istri yang telah khilaf itu. Dalam hal-hal tersebut dalam pasal ini, tuntutan akan pembatalan suatu perkawinan tidak bisa diterima, bila telah terjadi tinggal serumah terus-menerus selama tiga bulan sejak si suami atau istri mendapat kebebasan, atau sejak mengetahui kekeliruannya. (KUHPerd. 28, 58, 61-3? Dan 4?, 62, 63-2?, 65, 83, 901.)
88. Bila perkawinan dilakukan oleh orang yang karena cacat mental ditaruh di bawah pengampuan, keabsahan perkawinan itu hanya dapat dibantah oleh ayahnya, ibunya dan keluarga sedarah dalam garis ke atas, saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibinya, demikian pula oleh pengampunya, dan akhirnya oleh jawatan kejaksaan. Setelah pengampuan itu dicabut, pembatalan perkawinannya hanya boleh dituntut oleh suami atau istri yang telah ditaruh di bawah pengampuan itu, tetapi tuntutan ini pun tidak dapat diterima bila kedua suami-istri telah tinggal bersama selama enam bulan, terhitung dari pencabutan pengampuan itu. (KUHPerd. 28, 61-3?, 62, 63-2?, 65, 83, 433 dst., 447, 460.)
89. Bila perkawinan dilakukan oleh orang yang belum mencapai umur yang disyaratkan dalam pasal 29, maka pembatalan perkawinan itu boleh dituntut, baik oleh orang yang belum cukup umur itu, maupun oleh jawatan kejaksaan. Namun keabsahan perkawinan itu tidak dapat dibantah: 1?. bila pada hari tuntutan akan pembatalan itu diajukan, salah seorang atau kedua suami-istri telah mencapai umur yang disyaratkan; 2?. bila si istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan, telah hamil sebelum tuntutan diajukan. (KUHPerd. 61-4?, 62, 63-2?, 65, 83.)
90. Semua perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 30, 31, 32, dan 33, bisa dimintakan pembatalan, baik oleh suami-istri itu sendiri, maupun oleh orang tua mereka atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, atau oleh siapa pun yang memiliki kepentingan dengan pembatalan itu, atau oleh jawatan kejaksaan. (KUHPerd. 61-4?, 62, 63-2?, 65, 83, 93.)
91. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421, 456.) Bila suatu perkawinan dilaksanakan tanpa izin ayah, ibu, kakek, nenek, wali atau wali pengawas, maka dalam hal izin harus diperoleh ataupun wali harus didengar menurut pasal- pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40, pembatalan perkawinan hanya boleh dituntut oleh orang yang harus diperoleh izinnya atau harus didengar menurut undang-undang. Para keluarga sedarah yang izinnya disyaratkan tidak lagi boleh menuntut pembatalan perkawinan, bila perkawinan itu telah mereka setujui secara tegas atau secara diam-diam, atau perkawinan itu telah berlangsung enam bulan tanpa bantahan apa pun dari mereka terhitung sejak saat mereka mengetahui perkawinan itu. Tentang perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pengetahuan tentang berlangsungnya perkawinan itu tidak bisa dianggap ada, selama suami-istri itu tetap lalai untuk mendaftarkan akta pelaksanaan perkawinan mereka dalam daftar umum perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal 84. (KUHPerd. 35 dst., 61-1?, 62, 63-1?, 83 dst, 95 dst, 901; S. 1927-31 ketentuan transisi 1.)
92. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Perkawinan yang dilangsungkan tidak di hadapan pegawai catatan sipil yang berwenang dan tanpa kehadiran sejumlah saksi yang disyaratkan, dapat dimintakan pembatalannya oleh suami-istri itu, oleh ayah, ibu dan keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas, dan, pula oleh wali, wali pengawas, dan oleh siapa pun yang memiliki kepentingan dalam hal itu dan akhirnya jawatan kejaksaan. Jika terjadi pelanggaran terhadap pasal 76, sejauh mengenai kondisi saksi-saksi, maka perkawinan itu tidak mutlak harus batal; hakimlah yang akan memutuskan menurut kondisi. Bila tampak jelas adanya hubungan selaku suami-istri, dan dapat pula diperlihatkan akta perkawinan yang dibuat di hadapan pegawai catatan sipil, maka suami-istri tidak dapat diterima untuk minta pembatalan perkawinan mereka menurut pasal ini. (KUHPerd. 76 dst., 83, 99 dst.; BS. 13; S 1927-31 ketentuan transisi 1.)
93. Dalam segala hal di mana sesuai dengan pasal-pasal 86, 90, dan 92 suatu tuntutan hukum pernyataan batal dapat dimulai oleh orang yang memiliki kepentingan dalam hal itu, yang demikian tidak dapat dilakukan oleh kerabat sedarah dalam garis ke samping, oleh anak dari perkawinan lain , atau oleh orang-orang luar, selama suami-istri itu kedua-duanya masih hidup, dan klaim dapat diajukan hanya bila mereka dalam hal itu telah memperoleh atau akan segera memperoleh kepentingan.
94. Setelah perkawinan dibubarkan, jawatan kejaksaan tidak bisa menuntut pembatalannya.
95. Suatu perkawinan, walaupun telah dinyatakan batal, memiliki segala akibat perdatanya, baik terhadap suami-istri, maupun terhadap anak-anak mereka, bila perkawinan itu dilangsungkan dengan itikad baik oleh kedua suami-istri itu. (KUHPerd. 27 dst., 86 dst., 97.)
96. Bila itikad baik hanya ada pada salah seorang dari suami-istri, maka perkawinan itu hanya memiliki akibat-akibat perdata yang menguntungkan pihak yang beritikad baik itu dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Suami atau istri yang beritikad buruk boleh dijatuhi hukuman mengganti biaya, kerugian dan bunga terhadap pihak yang lain. (KUHPerd. 97.)
97. Dalam hal-hal tersebut dalam dua pasal lalu, perkawinan itu berhenti mempunyai akibat-akibat perdata, terhitung sejak hari perkawinan itu dinyatakan batal.
98. Batalnya suatu perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga., Bila dia telah bertindak dengan itikad baik terhadap suami-istri itu.
99. Tiada suatu perkawinan pun yang harus batal bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal 34, 42, 46, 52, dan atau, kecuali apa yang diatur dalam pasal 77, bila perkawinan itu dilangsungkan tidak di muka umum dalam gedung tempat akta-akta catatan sipil dibuat. Dalam hal-hal itu berlakulah ketentuan pasal 82 untuk pegawai-pegawai catatan sipil.
99a. (Sdu dg. S. 1937-595, mb. 1 Januari 1939.) Pembatalan suatu perkawinan oleh pengadilan negeri atas tuntutan jawatan kejaksaan di pengadilan tersebut, harus didaftar dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan oleh pegawai catatan sipil tempat perkawinan itu dilangsungkan, dengan cara yang sesuai dengan alinea pertama pasal 64 Reglemen tentang Catatan Sipil untuk golongan Eropa atau alinea pertama pasal 72 Reglemen yang sama untuk golongan Tionghoa. Tentang pendaftaran itu harus dibuat catatan pada tepi akta perkawinan. Bila perkawinan itu berlangsung di luar Indonesia, maka pendaftarannya dilakukan di Jakarta.
Bagian 7
Bukti adanya suatu perkawinan
100. Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain dari dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 4, 92; BS. 1, 7, 61; S. 1847-64 pasal 5.)
101. Bila ternyata, bahwa daftar-daftar itu tidak pernah ada, atau telah hilang, atau akta perkawinan itu tidak terdapat di dalamnya, maka penilaian tentang cukup tidaknya bukti-bukti tentang, adanya perkawinan diserahkan kepada hakim, asalkan kelihatan jelas adanya hubungan selaku suami-istri . (KUHPerd. 13; BS. 27; S. 1847-64 pas 5.)
102. Keabsahan seorang anak yang tidak dapat memperlihatkan akta perkawinan orang tuanya yang sudah meninggal, tidak dapat dibantah, bila dia telah memperlihatkan kedudukannya sebagai anak sesuai dengan akta kelahirannya, dan orang tuanya telah hidup secara jelas sebagai suami-istri. (KUHPerd. 250, 261 dst.)

Bab V - Hak dan kewajiban suami-istri ===
103. Suami-istri wajib setia satu sama lain, saling menolong dan saling membantu. (KUHPerd. 140, 145 dst., 193, 225, 227, 237; KUHP 304.)
104. Suami-istri, dengan hanya melakukan perkawinan, telah saling mengikat diri untuk memelihara dan mendidik anak mereka. (KUHPerd. 109, 145 dst., 193, 214, 230, 293, 318, 320 dst., 1097, 1601i; KUHP 304.)
105. Sang suami menjadi kepala persatuan perkawinan. (KUHPerd. 124, 140.) Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada istrinya atau tampil untuknya di muka hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur di bawah ini. (KUHPerd. 110 dst.) Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si istri, kecuali bila disyaratkan yang sebaliknya. (KUHPerd. 140, 194, 215, 244; LN. 1953-86 pasal 6.) Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan itu. (KUHPerd. 195.) Dia tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak istrinya tanpa persetujuan si istri.
106. Sang istri harus patuh kepada suaminya. (KUHPerd. 140.) Dia wajib tinggal serumah dengan suaminya dan mengikuti dia di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal. (KUHPerd. 21, 140, 211 dst., 242.)
107. Sang suami wajib menerima istrinya di rumah yang ditempatinya. (KUHPerd. 21.) Dia wajib melindungi istrinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan posisi dan kemampuannya.(KUHPerd. 193, 213, 225 dst., 237.)
108. Sang istri, sekalipun dia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggandaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami. (KUHPerd. 109, 112 dst., 115 dst., 118, 125, 194, 896, 1006, 1046, 1171, 1330 dst., 1446, 1454, 1601f, 1676, 1678, 1684, 1702, 1722m, 1798.)
109. (Sdu dg. S. 1926-333 jis. 458, 565, S. 1927-108.) Tentang perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang istri karena apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga mengenai perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan untuk keperluan rumah tangga, hukum menganggap bahwa ia telah mendapat persetujuan dari suaminya.(KUHPerd. 1601a, 1601c, 1601f, 1916.)
110. (Sdu dg. S. 1938-276.) Istri tidak bisa tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas. (KUHPerd. 105, 113 dst., 139, 194, 1171; Rv. 815.)
111. Bantuan suami tidak diperlukan: (LN. 1953-86 pasal 6; KUHPerd. 1601f.) 1. bila si istri dituntut dalam perkara pidana; 2. dalam hal perceraian, pisah meja dan ranjang, atau pemisahan harta. (Rv. 819 dst., 831 dst., 841.)
112. Bila suami menolak memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta, atau menolak tampil di pengadilan, maka si istri dapat meminta kepada pengadilan negeri di tempat mereka tinggal bersama supaya dikuasakan untuk itu. (KUHPerd. 114; Rv. 813 dst.)
113. (Sdu dg. S. 1938-276.) Seorang istri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan dengan izin suaminya, secara tegas atau secara diam-diam, dapat mengadakan perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha itu tanpa bantuan suaminya. Kapan dia kawin dengan suaminya dengan penggabungan harta, maka si suami juga terikat pada perjanjian itu. Bila si suami menarik kembali izinnya, dia wajib mengumumkan penarikan kembali itu. (KUHPerd. 108, 110, 121, 130, 132, 1330 dst., 1916; Rv. 581.)
114. Bila si suami, karena sedang tidak ada atau karena alasan-alasan lain, terhalang untuk membantu istrinya atau memberinya kuasa, atau bila ia memiliki kepentingan yang berlawanan, maka pengadilan negeri di tempat tinggal suami-istri itu bisa memberikan wewenang kepada si istri untuk tampil di pengadilan, mengadakan perjanjian, melakukan pengurusan, dan membuat akta-akta lainnya. (KUHPerd. 112, 125, 496; Rv. 813.)
115. Pemberian kuasa umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian perkawinan, berlaku tidak lebih dari yang berkenaan dengan pengelolaan harta kekayaan si istri itu sendiri. (KUHPerd. 108, 125, 140, 194, 1387, 1798.)
116. Batalnya suatu perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya dapat dituntut oleh si istri, suaminya, atau oleh para ahli waris mereka. (KUHPerd. 108, 1046. 1331, 1387. 1446, 1451, 1454, 1821.)
117. Bila seorang istri, setelah pembubaran perkawinan, melaksanakan suatu perjanjian atau akta, seluruhnya atau sebagian, yang telah dia adakan tanpa kuasa yang disyaratkan, maka dia tidak berwenang untuk minta pembatalan perjanjian atau akta itu. (KUHPerd. 1456.)
118. Istri dapat membuat wasiat tanpa izin suami. (KUHPerd. 895.)

Bab VI
Harta-bersama menurut hukum dan manajemennya
Bagian 1
Harta-bersama menurut hukum
119. Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta-bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak bisa ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri. (KUHPerd. 126, 139, 149, 153, 180, 186; F. 60, 62.)
120. Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta-bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami-istri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas. (KUHPerd. 158.)
121. Berkenaan dengan beban-beban, maka harta-bersama itu meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami-istri, baik sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. (KUHPerd. 130 dst., 163, F. 62.)
122. Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan dan kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian harta-bersama itu. (KUHPerd. 155; Rv. 823j.)
123. Semua utang kematian, yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dari yang meninggal itu. (KUHPerd. 126-1?, 128.
Bagian 2
Manajemen harta-bersama
124. Hanya suami saja yang bisa mengurus harta-bersama itu. Dia bisa menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140. Dia tidak bisa memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu posisi. Bahkan dia tidak bisa menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. (KUHPerd. 105, 119, 186, 320, 434, 903; LN 1953-86 pasal 6, bdk. Catatan KUHPerd. 105.)
125. Bila si suami tidak ada, atau berada dalam kondisi tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera, maka si istri dapat mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta-bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri. (KUHPerd. 108, 112, 114 dst., 496; Rv. 813 dst.)
Bagian 3
Pembubaran gabungan harta-bersama dan bagian hak
untuk melepaskan diri dari padanya
126. Harta-bersama bubar demi hukum:
1. karena kematian; 2. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada; (KUHPerd. 493 dst.) 3. karena perceraian; (KUHPerd. 207 dst.) 4. karena pisah meja dan ranjang; (KUHPerd. 233 dst.) 5. karena pemisahan harta. (KUHPerd. 186 dst.) Akibat-akibat khusus dari pembubaran dalam hal-hal tersebut pada nomor 2, 3, 4 dan 5 pasal ini, diatur dalam bab-bab yang membicarakan soal ini. (KUHPerd. 119, 222 dst.)
127. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Setelah salah seorang dari suami-istri meninggal, maka bila ada ditinggalkan anak yang masih di bawah umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk mengadakan pendaftaran harta-benda yang merupakan harta -bersama dalam waktu empat bulan. [Catatan Editor: Dalam BW jangka waktu yang diindikasikan lamanya adalah tiga bulan]. Pendaftaran harta-bersama itu bisa dilakukan di bawah tangan, tetapi harus dihadiri oleh wali pengawas. Kapan pendaftaran harta-bersama itu tidak diadakan, gabungan harta-bersama berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih di bawah umur, dan sekali-kali tidak bisa merugikannya. (KUHPerd. 311, 315, 370, 408, 417; Wsk. 48.)
128. Setelah bubarnya harta-bersama, kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku Kedua, mengenai pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta bersama menurut hukum. (KUHPerd. 123, 156, 243, 408, 903, 1066 dst., 1071 dst.; Rv. 689 dst.)
129. Pakaian, perhiasan dan alat untuk mata-pencaharian salah seorang dari suami-istri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan keilmuan, dan akhirnya surat atau tanda kenang-kenangan yang bersangkutan dengan asal-usul keturunan salah seorang dari suami- istri itu, bisa dituntut oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara musyawarah atau oleh ahli-ahli (KUHPerd. 132.)
130. Sang suami, setelah pembubaran harta-bersama, boleh ditagih atas utang dari harta-bersama seluruhnya, tanpa mengurangi haknya untuk minta penggantian setengah dari utang itu kepada istrinya atau kepada para ahli waris si istri. (KUHPerd. 121, 124, 128.)
131. Suami atau istri, setelah pemisahan dan pembagian seluruh harta-bersama, tidak bisa dituntut oleh para kreditur untuk membayar utang-utang yang dibuat oleh pihak lain dari suami atau istri itu sebelum perkawinan, dan utang-utang itu tetap menjadi tanggungan suami atau istri yang telah membuatnya atau para ahli warisnya; hal ini tidak mengurangi hak pihak yang satu untuk minta ganti rugi kepada pihak yang lain atau ahli warisnya. (KUHPerd. 121, 128, 132.)
132. Istri berhak melepaskan haknya atas harta-bersama; segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, dia tidak bisa menuntut kembali apa pun dari harta-bersama, kecuali kain seprei dan pakaian pribadinya. (Sdu dg. S. 1938-276.) Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dari kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta-bersama. (Sdu dg. S. 1938-276.) Tanpa mengurangi hak para kreditur atas harta-bersama, si istri tetap wajib untuk melunasi utang-utang yang dari pihaknya telah jatuh ke dalam harta-bersama; hal ini tidak mengurangi haknya untuk minta penggantian seluruhnya kepada suaminya atau ahli warisnya. (AB. 23; KUHPerd. 113, 121, 129, 131, 136, 138, 153, 483, 1023, 1045.)
133. Istri yang hendak mempergunakan hak tersebut dalam pasal yang lampau, wajib untuk menyampaikan akta pelepasan, dalam waktu satu bulan setelah pembubaran harta-bersama itu, kepada panitera pengadilan negeri di tempat tinggal bersama yang terakhir, dengan ancaman akan kehilangan hak itu (bila default).
Bila gabungan itu bubar akibat kematian suaminya, maka tenggang waktu satu bulan terjadi sejak si istri mengetahui kematian itu. (Ov. 14; KUHPerd. 134, 138, 1023 dst., 1989; Rv. 135, 829.)
134. Bila dalam jangka waktu tersebut di atas istri meninggal dunia, sebelum menyampaikan akta pelepasan, para ahli warisnya berhak melepaskan hak mereka atas harta-bersama itu dalam waktu satu bulan setelah kematian itu, atau setelah mereka mengetahui kematian itu, dan dengan cara seperti yang diuraikan dalam pasal terakhir. Hak istri untuk menuntut kembali kain seprei dan pakaiannya dari harta-bersama itu, tidak dapat diperjuangkan oleh para ahli-warisnya. (Ov. 14; KUHPerd. 132, 138, 903, 1023 dst.)
135. Bila para ahli waris istri tidak sepakat dalam tindakan, sehingga sebagian menerima dan yang lain melepaskan diri dari harta-bersama itu, maka yang menerima itu, tidak dapat memperoleh lebih dari bagian warisan yang menjadi haknya atas barang-barang yang sedianya menjadi bagian istri itu seandainya terjadi pemisahan harta. Sisanya dibiarkan tetap pada si suami, atau pada ahli warisnya, yang sebaliknya berkewajiban terhadap ahli waris yang melakukan pelepasan, untuk memenuhi apa saja yang sedianya akan dituntut oleh si istri dalam hal pelepasan, tetapi hanya sebesar bagian warisan yang menjadi hak ahli waris yang melakukan pelepasan . (KUHPerd. 132, 134, 138, 903, 1048, 1051, 1061.)
136. Istri yang telah menarik pada dirinya barang-barang dari harta-bersama, tidak berhak melepaskan diri dari harta-bersama itu. Tindakan-tindakan yang menyangkut manajemen semata-mata atau penyelamatan, tidak membawa akibat seperti itu. (KUHPerd. 137, 483, 1048 dst.)
137. Istri yang telah menghilangkan atau menggelapkan barang-barang dari harta-bersama, tetap berada dalam penggabungan, meskipun telah melepaskan dirinya; hal yang sama berlaku untuk para ahli warisnya. (KUHPerd. 136, 1031, 1064.)
138. Dalam hal gabungan harta-bersama berakhir karena kematian si istri, para ahli warisnya dapat melepaskan diri dari harta-bersama itu, dalam waktu dan dengan cara seperti yang diatur mengenai si istri sendiri. (Ov. 14; KUHPerd. 132 dst., 135, 242 dst., 1023.)
Bab VII
Perjanjian kawin
Bagian 1
Perjanjian kawin pada umumnya.
139. Para calon suami-istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan hukum mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut. (AB. 23; KUHPerd. 119, 132, 153, 180, 888, 1254, 1337.)
140. Perjanjian itu tidak bisa mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai ayah, tidak pula hak-hak yang oleh hukum diberikan kepada yang masih hidup paling lama. (KUHPerd. 105 dst., 110, 298 dst., 300, 307 dst., 311, 345 dst., 355.) Demikian pula perjanjian itu tidak bisa mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami-istri; namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mempersyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak, di samping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas. (KUHPerd. 105, 115.) Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta-bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dari pihak istri jatuh ke dalam harta-bersama, tidak dapat dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si istri. (KUHPerd. 124, 132.)
141. Para calon suami-istri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak bisa melepaskan hak yang diberikan oleh hukum kepada mereka atas warisan keturunan mereka, pun tidak bisa mengatur warisan itu. (KUHPerd. 852 dst., 1063, 1334.)
142. Mereka tidak bisa membuat perjanjian, bahwa yang satu memiliki kewajiban lebih besar dalam utang-utang dari bagiannya dalam keuntungan-keuntungan harta-bersama.
143. Mereka tidak bisa membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas lalu, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh hukum asing, atau oleh beberapa adat kebiasaan, hukum, kitab hukum atau peraturan daerah, yang pernah terjadi di Indonesia.
144. Tidak adanya gabungan harta-bersama tidak berarti tidak adanya keuntungan dan kerugian bersama, kecuali jika hal ini secara tegas ditiadakan. Penggabungan keuntungan dan kerugian diatur dalam Bagian 2 bab ini. (KUHPerd. 155 dst., 164; F. 60 dst.)
145. Juga dalam hal tidak digunakannya atau dibatasinya gabungan harta-bersama, boleh ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si istri setiap tahun dari hartanya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak-anak. (KUHPerd. 104, 193.)
146. Bila tidak ada perjanjian mengenai hal itu, hasil-hasil dan pendapatan dari harta istri masuk dalam penguasaan suami. (KUHPerd. 105, 193; Rv. 823j.)
147. Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. (KUHPerd. 232a.) Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan; tidak bisa ditentukan saat lain untuk itu. (KUHPerd. 119, 149.)
148. Perubahan-perubahan dalam hal itu, yang sedianya bisa diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan, tidak dapat diadakan selain dengan akta, dalam bentuk yang sama seperti akta perjanjian yang dulu dibuat. Lagipula tiada perubahan yang berlaku jika diadakan tanpa kehadiran dan izin orang-orang yang telah menghadiri dan menyetujui perjanjian kawin itu. (KUHPerd. 1873.)
149. Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apa pun. (KUHPerd. 196 dst., 232a, 237, 1678.)
150. Jika tidak ada gabungan harta-bersama, maka masuknya barang-barang bergerak, terkecuali surat-surat pendaftaran pinjaman-pinjaman negara dan efek-efek dan surat-surat piutang atas nama, tidak dapat dibuktikan dengan cara lain dari dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan pihak-pihak yang bersangkutan, dan dilekatkan pada surat asli perjanjian kawin, yang di dalamnya hal itu harus tercantum. (KUHPerd. 165 dst., 513; F. 60 dst., HCI 50; Bep. Vr. O. 2.)
151. Anak di bawah umur yang memenuhi persyaratan untuk melakukan perkawinan, juga cakap untuk memberi persetujuan atas segala perjanjian yang boleh ada dalam perjanjian kawin, asalkan dalam perbuatan perjanjian itu, anak yang masih di bawah umur itu dibantu oleh orang yang persetujuannya untuk melakukan perkawinan itu dibutuhkan. Bila perkawinan itu harus berlangsung dengan izin tersebut dalam pasal 38 dan pasal 41, maka rencana perjanjian kawin itu harus dilampirkan pada permohonan izin itu, agar tentang hal itu dapat sekaligus diambil ketetapan. (KUHPerd. 29, 35, 40 dst., 452, 458, 1447, 1677.)
152. Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dari harta-bersama menurut hukum, seluruhnya atau sebagian, tidak akan terjadi untuk pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di Kepaniteraan pada pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu dilangsungkan, atau Kepaniteraan di mana akta perkawinan itu didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar negeri. (KUHPerd. 84, 147, 245, 249; F. 60 dst.)
153. Segala ketentuan mengenai gabungan harta-bersama selalu berlaku, selama tidak ada penyimpangan darinya, baik yang dibuat secara tertulis, maupun secara tersirat, dalam perjanjian kawin.Namun sifat dan cara gabungan harta-bersama diperjanjikan, istri atau para ahli warisnya berhak untuk melepaskan diri darinya, dengan cara dan dalam hal-hal seperti yang diatur dalam bab yang lalu.(Ov. 14; KUHPerd. 119 dst., 132 dst., 138 dst., 1423.)
154. Perjanjian kawin, demikian pula hibah-hibah yang berkenaan dengan perkawinan, tidak berlaku bila tidak diikuti oleh perkawinan. (KUHPerd. 58, 168 dst., 176 dst. 1258.
Bagian 2
Gabungan keuntungan dan kerugian dan gabungan hasil dan pendapatan
155. Bila para calon suami-istri hanya memperjanjikan, bahwa harus ada gabungan keuntungan dan kerugian, maka persyaratan ini menutup jalan untuk mengadakan gabungan harta-bersama secara menyeluruh menurut hukum, dan segala keuntungan yang diperoleh suami-istri selama perkawinan harus dibagi antara mereka, sedangkan segala kerugian harus dipikul bersama, bila gabungan harta-bersama bubar. (KUHPerd. 144; 165.)
156. Masing-masing dari suami-istri mendapat separuh keuntungan dan memikul separuh kerugian, bila mengenai hal itu dalam perjanjian kawin tidak ada ketentuan-ketentuan lain. (KUHPerd. 128, 142, 185.)
157. Yang dianggap sebagai keuntungan pada harta-bersama suami-istri adalah bertambahnya harta-kekayaan mereka berdua, yang selama perkawinan timbul dari hasil harta-kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing, dari usaha dan kerajinan masing-masing dan dari penabungan pendapatan yang tidak dihabiskan; yang dianggap sebagai kerugian adalah berkurangnya harta-benda itu akibat produksi yang lebih tinggi dari pendapatan. (KUHPerd. 120.)
158. Apa saja yang diperoleh seorang suami atau istri selama perkawinan dari warisan, wasiat atau hibah, entah berasal dari keluarga entah dari orang lain, tidak termasuk keuntungan, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 167. (KUHPerd. 120, 166.)
159. Barang-barang tetap dan efek-efek yang dibeli selama perkawinan, atas nama siapa pun juga, dianggap sebagai keuntungan, kecuali bila terbukti sebaliknya.
160. Naik atau turunnya harga barang salah seorang dari suami-istri itu, tidak dihitung sebagai keuntungan atau kerugian bersama.
161. Perbaikan barang-barang tetap, yang terjadi karena pertumbuhan tanah, perdamparan lumpur, penanganan oleh tukang kayu atau karena hal-hal lain, tidak dianggap sebagai keuntungan bersama, melainkan hanya menguntungkan pemilik barang-barang itu. (KUHPerd. 596 dst.)
162. Kerusakan atau pengurangan karena kebakaran, kebanjiran, hanyut atau lain sebagainya, tidak termasuk kerugian bersama, tetapi menjadi beban si pemilik barang yang rusak atau berkurang itu.
163. Semua utang kedua suami-istri itu bersama-sama, yang dibuat selama perkawinan, harus dihitung sebagai kerugian bersama. Apa yang dirampas akibat kejahatan salah seorang dari suami-istri itu, tidak termasuk kerugian bersama itu. (KUHPerd. 121, 130 dst.)
164. Perjanjian, bahwa antara suami-istri hanya akan ada gabungan penghasilan dan pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut hukum dan tidak pula gabungan keuntungan dan kerugian. (KUHPerd. 165.)
165. Barang-barang bergerak milik masing-masing suami-istri sewaktu melakukan perkawinan, harus dinyatakan dengan tegas dalam akta perjanjian kawin sendiri, atau dalam surat pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang berjanji, dan dilekatkan pada akta asli perjanjian kawin, yang di dalamnya harus tercantum hal itu, baik jika gabungan keuntungan dan kerugian saja yang dipersyaratkan, maupun jika dipersyaratkan gabungan penghasilan dan pendapatan seperti yang diuraikan dalam pasal 155 dan 164; tanpa bukti ini, barang-barang bergerak itu dianggap sebagai keuntungan. (KUHPerd. 150, 513, 1977; F. 60 dst.)
166. Adanya barang-barang bergerak yang diperoleh masing-masing pihak dari suami-istri itu dengan pewarisan, hibah wasiat atau hibah biasa selama perkawinan, harus dapat diperlihatkan dengan surat pertelaan. Bila tidak ada surat pertelaan barang-barang bergerak yang diperoleh si suami selama perkawinan, atau bila tidak ada surat yang dapat memperlihatkan hal itu, maka suami itu tidak berwenang untuk mengambil kembali barang-barang itu sebagai hakmiliknya. Bila tidak ada surat pertelaan barang-barang bergerak yang diperoleh si istri selama perkawinan, atau bila tidak ada surat yang memperlihatkan apa saja barang-barang itu dan berapa harga masing-masing, istri itu atau para ahliwarisnya berwenang untuk membuktikan adanya dan harga barang-barang itu dengan saksi-saksi, dan jika perlu, dengan menunjukkan bahwa umum mengetahuinya. (KUHPerd. 165, 513.)
167. Yang termasuk penghasilan dan pendapatan ialah segala hibah wasiat, hibah atau penerimaan uang tahunan, bulanan, mingguan dan sebagainya seperti juga cagak hidup; dan dengan demikian tercakup kedua jenis gabungan yang dibicarakan dalam bagian ini. (KUHPerd. 120, 157 dst.)
Bagian 3
Hibah-hibah antara kedua calon suami-ister
168. Dalam mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-istri, secara timbal-balik atau secara sepihak, dapat memberikan hibah yang menurut pertimbangan mereka pantas diberikan, tanpa mengurangi kemungkinan pemotongan hibah itu sejauh penghibahan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu bagian menurut undang- undang. (KUHPerd. 182, 222, 913 dst., 919 dst., 1666 dst., 1678, 1692.)
169. Hibah-hibah itu dapat berkenaan dengan barang-barang yang telah ada seperti yang diperinci dalam aktanya, dapat pula dengan seluruh atau sebagian harta warisan si penghibah. (KUHPerd. 175, 179, 222, 224, 1334, 1667.)
170. Pemberian hibah-hibah demikian itu berlaku biarpun disambut tanpa pernyataan setuju secara tegas oleh pihak yang diberi hibah. (KUHPerd. 151, 402, 452, 1683, 1685,)
171. Hibah-hibah itu dapat diberikan dengan persyaratan-persyaratan, yang pelaksanaannya tergantung pada kehendak si penghibah. (KUHPerd. 179, 1256, 1668.)
172. Hibah yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan tertentu tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan hibah itu. (KUHPerd. 179, 1253-1255, 1688.)
173. Hibah yang mencakup seluruh atau sebagian warisan si penghibah tidak dapat ditarik kembali, dengan pengertian, bahwa dia tidak lagi menguasai barang-barang yang termasuk dalam hibah itu, kecuali uang dalam jumlah-jumlah kecil untuk upah, atau untuk soal-soal lain menurut pertimbangan hakim . Bila persyaratan tidak dipenuhi, hibah-hibah itu dapat ditarik kembali. (KUHPerd. 173, 178 dst., 1608.)
174. Hibah yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan terperinci secara tertentu, dan diberikan antara suami-istri dalam perjanjian kawin, tak dapat dianggap diberikan dengan syarat, bahwa penerima hibah harus hidup lebih lama dari pemberinya, kecuali bila Persyaratan dibuat secara tegas dalam perjanjian . (KUHPerd. 1666, 1672.)
175. Tiada hibah seluruh atau sebagian dari warisan si penghibah, yang diberikan dalam perjanjian kawin, baik yang diberikan oleh yang seorang dari suami-istri kepada yang lain, maupun yang diberikan secara timbal-balik, akan beralih kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, bila yang diberi hibah meninggal sebelum si penghibah. (KUHPerd. 174, 178, 231, 899.)
Bagian 4
Hibah-hibah yang diberikan kepada kedua calon suami-istri bagian atau kepada anak-anak dari perkawinan mereka
176. Baik dalam perjanjian kawin, maupun dengan akta notaris tersendiri, yang dibuat sebelum pelaksanaan perkawinan, pihak ketiga dapat memberikan hibah, yang menurut pendapat mereka pantas diberikan kepada kedua calon suami-istri atau kepada salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan untuk mengurangi hibah itu , bila dengan hibah itu orang yang memiliki hak atas suatu bagian menurut undang-undang dirugikan. (KUHPerd. 228, 913 dst., 919 dst., 1090, 1334, 1693.)
177. Bila hibah-hibah itu diberikan dalam perjanjian kawin, maka untuk berlakunya secara sah tidak perlu ada persetujuan tegas dari yang diberi hibah; sebaliknya bila hibah itu diberikan dengan akta tersendiri, maka hal itu tidak memiliki akibat kecuali setelah ada persetujuan tegas untuk menerima. (KUHPerd. 170, 1666, 1683.)
178. Suatu hibah yang terdiri dari seluruh atau sebagian warisan si penghibah, meskipun diberikan hanya untuk kedua suami-istri atau untuk salah seorang dari mereka, selalu dianggap diberikan untuk anak-anak dan keturunan mereka, bila si penghibah hidup lebih lama dari yang diberi hibah, dan bila dalam akta tidak ditentukan lain. Hibah seperti itu hapus, bila si penghibah hidup lebih lama dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya yang diberi hibah. (KUHPerd. 173, 175, 231, 976, 1334, 1679.)
179. Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 169, 171, 172, dan 173, berlaku juga pada hibah-hibah yang dibicarakan dalam bagian ini.
Bab VIII
Gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
180. Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada gabungan harta-benda menyeluruh antara suami-istri, bila dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. (KUHPerd. 119, 139.)
181. Akan tetapi pada perkawinan kedua atau berikutnya, bila ada anak dan keturunan dari perkawinan yang sebelumnya, suami atau istri yang baru, oleh percampuran harta dan utang-utang pada suatu gabungan, tidak bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar dari jumlah bagian terkecil yang diperoleh seorang anak , atau bila anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh keturunannya dalam penggantian ahli waris, dengan ketentuan, bahwa keuntungan ini sekali-kali tidak bisa melebihi seperempat bagian dari harta-benda suami atau istri yang kawin lagi itu. Anak-anak dari perkawinan terdahulu atau keturunan mereka, pada waktu terbukanya warisan dari suami atau istri yang kawin lagi, berhak menuntut pemotongan atau pengurangan; dan apa yang melebihi bagian yang diperkenankan, masuk ke dalam warisan itu. (KUHPerd. 182, 185, 231, 842, 902, 913 dst., 920, 929, 1060.)
182. Suami atau istri, yang memiliki anak-anak dari perkawinan yang terdahulu dan melakukan perkawinan berikutnya, tidak bisa menyediakan kepada suami atau istri yang baru, dengan perjanjian kawin pun, keuntungan-keuntungan yang lebih dari yang tersebut dalam pasal sebelum ini. (KUHPerd. 168, 902.)
183. Suami-istri tidak diperkenankan dengan cara yang berliku-liku saling memberi hibah lebih dari yang diperkenankan dalam ketentuan-ketentuan di atas. Semua hibah yang diberikan dengan dalih yang dikarang-karang, atau diberikan kepada orang-orang perantara, adalah batal. (KUHPerd. 911, 1057 dst.)
184. Yang dimaksud dengan hibah yang diberikan kepada perantara ialah hibah yang diberikan oleh seorang suami atau istri kepada semua anak atau salah seorang anak dari perkawinan terdahulu istri atau suaminya, demikian pula hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah penghibah dan pada waktu penghibahan diperkirakan akan menjadi warisan istri atau suami penghibah itu, meskipun suami atau istri penghibah ini mungkin tidak hidup lebih lama dari penerima hibah. (KUHPerd. 911, 1916-1?, 1921.)
184a. (Sdt dg. S. 1923-31.) Pasal-pasal 181-184, dalam hal suami-istri yang kawin kembali satu sama lain, tidak berlaku untuk anak-anak atau keturunan dari perkawinan mereka yang terdahulu.
185. Juga jika ada anak-anak dari perkawinan yang dulu, maka keuntungan dan kerugian harus dibagi rata antara suami dan istri, kecuali bila peraturan tentang itu ditiadakan atau diubah oleh perjanjian kawin. (KUHPerd. 128, 156, 164.)
Bab IX
Pemisahan harta-benda
186. Selama perkawinan, si istri bisa mengajukan tuntutan akan pemisahan harta-benda kepada hakim, tetapi hanya dalam hal-hal berikut: 1?. bila suami, dengan kelakuan buruk yang nyata, memboroskan barang-barang dari gabungan harta-bersama, dan membiarkan rumah-tangga terancam bahaya kehancuran; 2?. bila karena kekacaubalauan dan keburukan pengurusan harta kekayaan si suami, jaminan untuk harta perkawinan istri serta untuk apa yang menurut hukum menjadi hak istri akan hilang, atau jika karena kelalaian besar dalam pengurusan harta perkawinan si istri, harta itu berada dalam kondisi bahaya. Pemisahan harta-benda yang dilakukan hanya atas persetujuan bersama, adalah batal. (KUHPerd. 105, 119. 124, 126-1 nomor 5?, 149; Rv. 819 dst., 825.)
187. Tuntutan akan pemisahan harta-benda harus diumumkan secara terbuka. (Rv. 822.)
188. Para kreditur si suami dapat ikut-campur dalam penyidangan perkara untuk menentang tuntutan akan pemisahan harta-benda itu. (KUHPerd. 192; Rv. 279 dst.)
189. Putusan hakim yang mengabulkan tuntutan akan pemisahan harta-benda itu, sebelum pelaksanaannya, harus diumumkan secara terbuka, dengan ancaman menjadi batal pelaksanaannya bila tidak dipenuhi persyaratan pengumuman itu. (Rv. 811.) Putusan tentang dikabulkannya pemisahan harta-benda itu, dalam hal akibat hukumnya, mempunyai kekuatan berlaku surut, terhitung dari hari gugatan diajukan. (KUHPerd. 192.)
190. Selama penyidangan, istri boleh melakukan tindakan-tindakan, dengan seizin hakim, untuk menjaga, agar barang-barangnya tidak hilang atau diboroskan. (Rv. 823 dst.)
191. Hasil, di mana pemisahan harta-benda diizinkan, hapus menurut hukum, bila hal itu tidak dilaksanakan secara sukarela dengan pembagian barang-barang itu, seperti yang ternyata dari akta otentik tentang itu; atau bila dalam waktu satu bulan setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap , si istri tidak mengajukan tuntutan untuk pelaksanaannya kepada hakim dan tidak melanjutkan penuntutan secara teratur. (KUHPerd. 1066; Rv. 827.)
192. Para kreditur si suami yang tidak campur dalam penyidangan, boleh menentang pemisahan itu, meskipun hal itu telah dilaksanakan, bila hak-hak mereka, dengan pelaksanaan itu, secara sengaja dirugikan. (KUHPerd. 188, 215, 1341; Rv. 828.)
193. Meskipun ada pemisahan harta-benda, si istri wajib memberi dukungan untuk biaya rumah-tangga dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan olehnya karena perkawinan dengan si suami itu, menurut perbandingan antara harta si istri dan harta si suami. Bila si suami ada dalam keadaan tidak mampu, biaya-biaya itu menjadi tanggungan si istri saja. (KUHPerd. 104, 145 dst., 298.)
194. Istri yang berpisah harta-benda dengan suaminya, memperoleh kembali kebebasan untuk mengurusnya, dan meskipun ada ketentuan-ketentuan pasal 108, dia dapat memperoleh izin umum dari hakim untuk menguasai barang-barang bergeraknya. (KUHPerd. 105, 110, 115, 124.)
195. Suami tidak bertanggung jawab kepada istrinya, bila si istri, setelah terpisah harta-bendanya, telah lalai untuk memanfaatkan atau menanamkan kembali uang penjualan barang tetap yang telah dipindahtangankannya atas izin yang diperolehnya dari hakim, kecuali bila si suami telah ikut membantu dalam mengadakan kontrak, atau bila dapat dibuktikan, bahwa uang itu telah diterima oleh suami, atau telah dipergunakan untuk kepentingan suami.
196. Gabungan harta-benda yang telah dibubarkan, dapat dipulihkan kembali atas persetujuan kedua suami-istri. Persetujuan yang demikian tidak dapat diadakan selain dengan akta otentik.(KUHPerd. 149, 232a, 1868; Rv. 826, 830.)
197. Bila gabungan harta-bersama itu telah pulih kembali, barang-barangnya dikembalikan ke keadaan semula, seakan-akan tidak pernah ada pemisahan, tanpa mengurangi kewajiban si istri untuk memenuhi perjanjian, yang dibuatnya selama waktu sejak pemisahan sampai dengan pemulihan kembali gabungan harta-bersama itu . Segala perjanjian yang oleh suami-istri itu dipergunakan untuk memulihkan kembali gabungan harta-bersama itu dengan ketentuan yang lain dari ketentuan yang kembali, adalah batal. (AB 23; KUHPerd. 119, 149, 232a, 1340.)
198. Suami-istri itu wajib untuk mengumumkan pemulihan kembali gabungan harta-bersama itu secara terbuka. Selama pengumuman seperti itu belum dilaksanakan, suami-istri itu tidak bisa mempersoalkan akibat-akibat pemulihan gabungan harta-bersama itu dengan pihak-pihak ketiga. (KUHPerd. 232a; Rv. 828, 830.)
Bab X
Pembubaran perkawinan
Bagian 1
Pembubaran perkawinan pada umunnya
199. Perkawinan bubar: 1?. oleh kematian; (KUHPerd. 3, 220.) 2?. oleh tidak-hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru istrinya atau suaminya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 5 Bab XVIII; (KUHPerd. 493 dst.) 3?. (Sdu dg. S. 1916-530.) Oleh keputusan hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran pernyataan pemutusan perkawinan itu dalam daftar-daftar catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 2 bab ini; (KUHPerd. 200 dst.) 4 ?. oleh perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 3 bab ini.(KUHPerd. 207 dst.)
Bagian 2
Pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang
200. Bila suami-istri pisah meja dan ranjang, baik karena salah satu alasan dari alasan-alasan yang tercantum dalam pasal 233, maupun atas permohonan kedua belah pihak, dan perpisahan itu tetap bertahan selama lima tahun penuh tanpa perdamaian antara kedua belah pihak, maka mereka masing -masing bebas untuk menghadapkan pihak lain ke pengadilan, dan menuntut agar perkawinan mereka dibubarkan. (KUHPerd. 233, 236, 242, 248.)
201. Tuntutan itu harus segera ditolak, bila pihak tergugat, setelah tiga kali dari bulan ke bulan dipangggil ke pengadilan tidak muncul-muncul, atau datang dengan mengadakan perlawanan terhadap tuntutan itu, atau menyatakan bersedia untuk berdamai dengan pihak lawan. (KUHPerd. 248.)
202. Bila pihak tergugat menyetujui tuntutan, pengadilan negeri harus memerintahkan, agar suami-istri itu secara pribadi bersama-sama menghadap seorang atau lebih hakim anggota, yang akan berusaha mendamaikan mereka. Bila usaha itu tidak berhasil, hakim harus memerintahkan untuk menghadap kembali lagi, paling cepat tiga bulan dan paling lambat enam bulan setelah pertama kali menghadap. (Ov. 46; KUHPerd. 208, 236, 239, 248, 1023; Rv. 31.) (Sdt dg. S. 1923-287 jo. 441.) Bila ada alasan sah untuk tidak menghadap, maka anggota atau para anggota yang ditunjuk itu harus pergi ke rumah suami-istri itu. (Sdt dg. S. 1923-287, 441, sdu dg. S. 1925-497, 678 jo. S. 1926-63.) Bila salah seorang dari suami-istri, atau kedua-duanya, bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri yang kepadanya permohonan itu diajukan, maka pengadilan negeri itu atau dalam hal tidak ada badan semacam itu bisa meminta kepala / pejabat pemerintah setempat yang di daerah hukumnya kedua suami-istri itu bertempat tinggal untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut dalam tiga alinea terdahulu. Kantor yang ditunjuk ini akan membuat berita acara tentang tindakan-tindakan yang dilakukannya dan segera mengirimkannya kepada pengadilan negeri tersebut pertama. (Sdt dg. S. 1923-287 jo. 441.) Bila salah seorang dari suami-istri, atau kedua-duanya, bertempat tinggal di luar Indonesia, pengadilan negeri dapat meminta kepada seorang pejabat pengadilan di negara tempat mereka berdiam, untuk melakukan tindakan -tindakan tersebut dalam alinea satu dan dua, atau memerintahkannya kepada pegawai Perwakilan Indonesia di tempat tinggal suami-istri itu. Berita acara mengenai hal itu dikirimkan kepada pengadilan negeri itu.
203. (Sdu dg. S. 1923-286 jo. 441.) Bila pertemuan yang kedua ternyata sia-sia juga, maka setelah mendengar penuntut umum, pengadilan negeri harus mengambil keputusan dan menerima tuntutan itu, jika segala persyaratan acara telah dipenuhi seperti yang dikemukakan di atas. Namun demikian, setelah mengadakan pemeriksaan, pengadilan negeri bebas untuk menangguhkan putusan selama enam bulan, bila ternyata baginya masih ada kemungkinan untuk berdamai. (KUHPerd. 240.)
204. Terhadap putusan pengadilan negeri ini bisa dimintakan banding kepada hakim yang lebih tinggi selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan. (Ov. 45; KUHPerd. 241, 1023.)
205. (Sdu dg. S. 1916-530.) Perkawinan itu dibubarkan oleh putusan tersebut dan pendaftarannya dalam daftar-daftar catatan sipil. Pendaftarannya harus dilakukan dengan cara, dalam jangka waktu dan dengan ancaman hukuman seperti yang ditentukan dalam pasal 221 tentang perceraian. (KUHPerd. 245; BS. 64; bdgk. S. 1945-14, S. 1946-24.)
206. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pembubaran perkawinan tidak mengurangi akibat-akibat yang diatur dalam pasal-pasal 222 sampai dengan 228 dan pasal 231 yang berdasarkan pasal 246 juga berlaku terhadap pisah meja dan ranjang, dan juga tidak mengurangi ketentuan, yang berdasarkan permufakatan berkenaan dengan pasal 237, telah ditetapkan oleh suami-istri itu, baik terhadap diri mereka maupun terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak-anak. Pada waktu memutuskan pisah meja dan ranjang itu, hakim mengangkat salah seorang dari antara orang tua yang telah melakukan kekuasaan orang tua sebagai wali. Atas permohonan kedua orang tua atau salah seorang dari mereka, pengadilan negeri, berdasarkan keadaan yang timbul setelah putusan pembubaran perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, bisa mengubah penetapan yang telah diberikan berdasarkan alinea yang lalu, dan persyaratan-persyaratan terhadap anak-anak seperti yang termaksud dalam alinea pertama, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua, wali pengawasnya dan keluarga sedarah atau sĕmĕnda dari anak-anak yang masih di bawah umur. Bisa dinyatakan, bahwa penetapan ini dapat segera dilaksanakan, meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan. (KUHPerd. 230, 246a; Rv. 54 dst.) (Sdu dg. S. 1927-456.) Pemeriksaan terhadap orang tua dan wali pengawas, yang bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri itu, bisa dilimpahkan ke pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kediaman mereka, yang akan menyampaikan berita acara tentang hal itu kepada pengadilan negeri tersebut pertama. Pemanggilan para orang tua dan wali pengawas dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan sĕmĕnda. Mereka dapat mewakilkan diri dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 334. Salah satu dari kedua orang tua yang tidak mengajukan permohonan dan yang tidak menghadap atas panggilan, boleh mengadakan perlawanan dalam waktu tiga puluh hari setelah suatu penetapan atau suatu akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau untuk pelaksanaan penetapan itu, disampaikan kepada orang tua itu sendiri, atau setelah dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan, bahwa dia telah maklum tentang penetapan itu atau tentang pelaksanaannya yang dimulai. Orang tua yang permohonannya telah ditolak, dan orang tua yang kendati mengadakan perlawanan telah dinyatakan salah, demikian pula yang perlawanannya telah ditolak, boleh mohon banding dalam waktu tiga puluh hari setelah keputusan itu diucapkan. (Rv. 83, 341.) Bila anak yang belum dewasa belum benar-benar berada dalam kekuasaan orang yang berdasarkan salah satu ketentuan pasal ini ditugaskan menjadi wali, maka dalam putusan atau dalam penetapan harus diperintahkan juga penyerahan anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h berlaku terhadap hal ini.
206a. (Sdt dg. S. 1927-31 jis 390, 421; sdu dg. S. 1938-622.) Dalam menyatakan pemutusan atau pada pengubahan seperti yang dimaksud dalam alinea ketiga pasal 206, bila ada ketakutan yang beralasan, jangan-jangan orang tua yang tidak diserahi tugas perwalian tidak akan memberi cukup bantuan untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum dewasa, pengadilan negeri dapat pula memberi perintah tersebut dalam pasal 230b, dengan cara dan dengan akibat-akibat seperti yang ditentukan dalam pasal itu. Dalam hal tidak ada perintah ini, dewan perwalian boleh menuntut pembayaran itu pada pengadilan, setelah penetapan pembubaran perkawinan itu didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil. (KUHPerd. 298.)
206b. (Sdt dg. S. 1923-31.) Ketentuan pasal 232a berlaku juga untuk orang-orang yang kawin kembali satu sama lain, setelah perkawinan mereka yang dahulu dibubarkan sesuai dengan pasal-pasal sebelum ini.
Bagian 3
Perceraian perkawinan
207. (Sdu dg. S. 1925-199 jo. 273.) Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang di daerah hukumnya si suami mempunyai tempat tinggal pokok, pada waktu memajukan permohonan termaksud dalam pasal 831 Reglemen Acara Perdata, atau tempat tinggal yang sebenarnya bila tidak memiliki tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat permohonan tersebut di atas si suami tidak memiliki tempat tinggal pokok atau tempat tinggal yang sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan ke pengadilan negeri tempat kediaman si istri yang sebenarnya. (KUHPerd. 17, 20 dst., 33; Rv. 931 dst.)
208. Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama. (KUHPerd. 200 dst., 236; Rv. 78.)
209. Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian perkawinan hanya sebagai berikut: 1?. zinah; (KUHPerd. 32, 310, 909.) 2?. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk; (KUHPerd. 211, 218.) 3?. (Sdu dg. S. 1917-497 jo. 646.) Diancam hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan; (KUHPerd. 210.) 4?. pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami-istri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya. (Ov. 63; KUHPerd. 233.)
210. Bila salah seorang dari suami-istri itu dengan keputusan hakim dikenakan sanksi, karena telah berzinah, maka untuk mendapatkan perceraian perkawinan, cukuplah salinan surat putusan itu disampaikan kepada pengadilan negeri, dengan surat keterangan, bahwa putusan itu telah memiliki kekuatan hukum yang pasti. (Sdu dg. S. 1917-497 jo. 645.) Ketentuan ini berlaku juga, bila perceraian perkawinan ini dituntut karena si suami atau si istri dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat. (KUHPerd. 219, 233 dst., 909, 1918; Sv. 189, 314.)
211. (Sdu dg. S. 1925-199 jo. 273.) Dalam hal perbuatan meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk, demikian pula dalam hal perubahan tempat tinggal pokok atau tempat tinggal sebenarnya, yang terjadi setelah timbulnya sebab perceraian perkawinan, tuntutan perceraian perkawinan itu bisa juga diajukan ke pengadilan di tempat tinggal bersama yang terakhir. Tuntutan akan perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk hanya dapat dikabulkan, bila yang meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa alasan sah, tetap menolak untuk kembali kepada suami atau istrinya. Klaim itu tidak bisa dimulai sebelum lampau lima tahun, terhitung sejak suami atau istri itu meninggalkan tempat tinggal bersama mereka. Bila kepergian itu mempunyai alasan yang sah, jangka waktu lima tahun itu akan dihitung sejak berakhirnya alasan itu. (KUHPerd. 21, 106 dst., 199, 218, 233 dst., 463, 493.)
212. Isteri itu, baik sebagai penggugat untuk perceraian maupun sebagai tergugat, dengan izin hakim boleh meninggalkan rumah suaminya selama berlangsungnya konferensi. Pengadilan negeri akan menunjuk rumah di mana istri itu harus tinggal. (KUHPerd. 21, 106, 214, 216; Rv. 835.)
213. Isteri itu berhak untuk menuntut tunjangan nafkah, yang setelah ditentukan hakim harus dibayar oleh si suami kepada istrinya selama berlangsungnya perkara itu. Bila istri itu, tanpa izin hakim, meninggalkan tempat tinggal yang ditunjuk baginya, maka tergantung pada kondisi, dia bisa tidak diberi hak lagi untuk menuntut tunjangan, bahkan bila dia adalah penggugat, dia dapat dinyatakan tidak dapat diterima untuk melanjutkan tuntutan hukumnya. (KUHPerd. 105, 107, 212, 217, 226, 324 dst.; Rv. 839.)
214. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pengadilan negeri, selama konferensi masih berjalan, bebas untuk mencabut pelaksanaan kekuasaan orang tua untuk sementara, seluruhnya atau sebagian, dan sejauh dianggap perlu, memberikan wewenang-wewenang yang demikian atas diri dan barang-barang anak-anak kepada pihak lain dari antara orang tua itu, atau kepada orang yang ditunjuk oleh pengadilan negeri, atau kepada dewan perwalian. Terhadap penetapan-penetapan ini tidak diperkenankan mengajukan banding. Penetapan-penetapan itu tetap berlaku sampai putusan yang menolak gugatan perceraian memperoleh kekuatan hukum yang pasti; dalam hal gugatan diterima, penetapan-penetapan itu tetap berlaku sampai satu bulan berlalu, setelah penetapan yang diberikan berkenaan dengan itu untuk mengatur soal perwalian memperoleh kekuatan hukum yang pasti . (Rv. 836, 839.) Tentang biaya-biaya yang dikeluarkan sesuai dengan alinea pertama, berlaku alinea ketujuh dan kedelapan pasal 319f.
215. Hak-hak si suami mengenai pengurusan harta si istri tidak terhenti selama perkara berjalan; hal ini tidak mengurangi wewenang si istri untuk melindungi haknya, dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang ditampilkan dalam ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata. Semua akta si suami yang sengaja mengurangi hak-hak si istri adalah batal. (KUHPerd. 105, 124, 192, 1341; Rv. 840.)
216. Hak untuk menuntut perceraian perkawinan gugur jika terjadi perdamaian suami-istri, entah perdamaian itu terjadi sesudah si suami atau si istri mengetahui perbuatan-perbuatan yang sedianya bisa dipakai sebagai alasan untuk menggugat, entah setelah gugatan untuk perceraian dilakukan. Hukum menganggap telah ada perdamaian, bila si suami dan si istri tinggal bersama lagi setelah si istri dengan izin hakim meninggalkan rumah kediaman mereka bersama. (KUHPerd. 212 dst., 217, 220, 235, 1921; Rv. 831 dst.)
217. Suami atau istri, yang mengajukan gugatan baru atas dasar suatu sebab baru yang timbul setelah perdamaian, boleh mempergunakan alasan-alasan yang lama untuk mendukung gugatannya.(KUHPerd. 209, 213, 219.)
218. Gugatan untuk perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk, gugur bila suami atau istri, sebelum diputuskan perceraian, kembali ke rumah kediaman bersama. Namun bila setelah kembali, suami atau istri itu meninggalkan lagi rumah tinggal bersama tanpa alasan yang sah, pihak lain bisa memulai gugatan baru untuk perceraian perkawinan enam bulan setelah kepergian itu, dan bisa menggunakan alasan-alasan lama untuk mendukung gugatannya. Dalam hal itu, gugatan perceraian perkawinan tidak akan gugur bila pihak yang meninggalkan tempat tinggal bersama itu kembali sekali lagi. (KUHPerd. 211, 216 dst.)
219. Dalam kedua hal yang diatur dalam pasal 210, suami atau istri yang membiarkan lampau waktu enam bulan terhitung dari hari putusan hakim mendapat kekuatan hukum yang pasti, tidak dapat diterima lagi untuk memulai gugatan perceraian perkawinan. Bila salah seorang dari suami-istri itu berada di luar negeri pada waktu pihak yang lain mendapat putusan hukuman, maka jangka waktu yang ditetapkan adalah enam bulan dihitung mulai dari hari kembalinya ke Indonesia.
220. Gugatan untuk perceraian gugur, bila salah seorang dari kedua suami-istri meninggal sebelum ada putusan. (KUHPerd. 199-11.)
221. (Sdu dg. S. 1916-530.) Perkawinan dibubarkan oleh keputusan hakim dan pendaftaran perceraian yang ditetapkan dengan putusan itu dalam daftar-daftar catatan sipil. Pendaftaran itu harus dilakukan atas permohonan kedua suami-istri atau salah seorang dari mereka di tempat pendaftaran perkawinan itu. Jika perkawinan itu dilaksanakan di luar Indonesia, maka pendaftaran harus dilakukan dalam daftar-daftar catatan sipil di Jakarta. Pendaftaran itu harus dilakukan dalam jangka waktu enam bulan, terhitung dari hari putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Kapan pendaftaran itu tidak dilakukan dalam jangka waktu itu, kekuatan putusan perceraian itu hapus, dan perceraian tidak dapat dituntut sekali lagi atas dasar dan alasan yang sama. (KUHPerd. 245, 254; BS. 64; Rv. 843; untuk ketentuan-ketentuan sementara yang menyimpang dan pengaturan-pengaturan tentang pendaftaran, lihat S. 1945-14, S. 1946-24.)
222. Suami atau istri yang gugatannya untuk perceraian perkawinan dikabulkan, boleh menikmati keuntungan-keuntungan yang dijanjikan kepadanya oleh pihak lain berkenaan dengan perkawinan mereka, sekalipun keuntungan-keuntungan itu dijanjikan secara timbal-balik. (KUHPerd. 139, 168 dst., 228, 327.)
223. Sebaliknya, suami atau istri yang dinyatakan kalah dalam putusan perceraian itu, kehilangan semua keuntungan yang dijanjikan oleh pihak lain kepadanya berkenaan dengan perkawinan mereka.(KUHPerd. 139, 168 dst., 228, 317.)
224. Dengan terjadinya perceraian perkawinan, keuntungan-keuntungan, yang dijanjikan akan keluar setelah kematian salah seorang dari suami-istri itu, tidak segera dapat dituntut; pihak yang gugatannya untuk perceraian perkawinan dikabulkan, baru boleh mempergunakan haknya akan keuntungan-keuntungan itu setelah pihak lawannya meninggal. (KUHPerd. 168 dst., 173, 175, 317.)
225. Bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak memiliki penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup baginya dari harta pihak yang lain. (KUHPerd. 103, 227.)
226. Dihapus dg. S. 1938-622.
227. Kewajiban untuk memberi tunjangan hidup terhenti dengan kematian si suami atau si istri.
228. Tunjangan-tunjangan yang dijanjikan oleh pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan, tetap harus dibayar kepada si suami atau si istri yang mendapat jari untuk kepentingannya. (KUHPerd. 176 dst., 222.)
229. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau sĕmĕnda dari anak-anak yang di bawah umur, pengadilan negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu telah dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepaskan mereka dari kekuasaan orang tua. (KUHPerd. 230a, b, 319a.) Penetapan ini tidak berlaku sebelum hari putusan perceraian perkawinan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum itu tidak usah dilakukan pemberitahuan, dan tidak bisa dilakukan perlawanan atau banding. Terhadap penetapan ini, si ayah atau si ibu yang tidak diangkat menjadi wali boleh melakukan perlawanan, bila dia tidak hadir atas panggilan yang dimaksud dalam alinea pertama.Pertandingan ini harus dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penetapan itu diberitahukan kepadanya. (Rv. 83.) Si ayah atau si ibu yang setelah hadir atas panggilan tidak diangkat menjadi wali, atau yang perlawanannya ditolak, dalam tiga puluh hari setelah hari termaksud dalam alinea kedua, dapat naik banding mengenai penetapan itu. (Rv. 341.) Alinea keempat pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan para orang tua.
230. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pengadilan negeri, atas dasar hal-hal yang terjadi setelah putusan perceraian perkawinan memperoleh kekuatan hukum yang pasti, berkuasa untuk mengubah penetapan-penetapan yang telah diberikan menurut alinea pertama pasal yang lalu atas permohonan kedua orang tua atau salah seorang setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua orang tua, para wali pengawas dan keluarga sedarah atau sĕmĕnda anak-anak yang di bawah umur. Penetapan-penetapan ini boleh dinyatakan dapat dilaksanakan segera meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan. Ketentuan alinea keempat dan kelima pasal 206 berlaku terhadap hal ini.
230a. (Sdt dg. S. 1927-31 jis. 390.) Bila anak-anak yang di bawah umur belum berada dalam kekuasaan nyata orang yang berdasarkan pasal 229 atau pasal 230 ditugaskan menjadi wali, atau dalam kekuasaan si ayah, si ibu, atau dewan perwalian yang mungkin diserahi anak-anak itu berdasarkan pasal 214 alinea pertama, maka dalam penetapan itu juga harus diperintahkan penyerahan anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h dalam hal ini terjadi.
230b. (Sdt dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pada penetapan termaksud dalam alinea pertama pasal 229, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti yang dimaksud dalam alinea itu dan setelah mendengar dewan perwalian, bila ada kekhawatiran yang beralasan, bahwa orang tua yang tidak diserahi tugas perwalian, tidak akan memberikan tunjangan secukupnya untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anak yang masih di bawah umur, pengadilan negeri dapat memerintahkan juga, bahwa orang tua itu untuk biaya hidup dan pendidikan anak tiap-tiap minggu atau tiap- tiap bulan atau tiap-tiap tiga bulan akan membayarkan kepada dewan perwalian suatu jumlah yang dalam pada itu ditentukan. Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga dan keempat pasal 229 berlaku juga terhadap perintah ini.
230c. (Sdt dg. S. 1927-31 jis. 390, 421; sdu dg. S. 1938-622.) Bila tidak ada perintah seperti yang dimaksud dalam alinea pertama pasal sebelum ini, dewan perwalian boleh menuntut pembayaran tunjangan itu lewat pengadilan, setelah putusan tentang perceraian perkawinan itu didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil.
230d. sdt dg. S. 1927-31 jis. 390, 421; hapus dg. S. 1938-622.
231. Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijaminkan untuk mereka oleh hukum, atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka. Akan tetapi anak-anak itu tidak bisa menuntutnya, selain dengan cara yang sama dan dalam kondisi yang sama seakan-akan tidak pernah terjadi perceraian perkawinan. (KUHPerd. 175, 178, 181 dst., 311, 317, 852 dst.)
232. Bila suami-istri yang bercerai itu dahulu kawin dengan gabungan harta-bersama, pembagian harta harus dilakukan berdasarkan dan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Bab VI. (KUHPerd. 126, 128, 1066 dst.)
232a. (Sdt dg. S. 1923-31, sdu dg. S. 1928-546.) Bila suami-istri itu kawin kembali satu sama lain, semua akibat perkawinan itu menurut hukum dengan sendirinya timbul kembali, seakan-akan tidak pernah terjadi perceraian. Namun hal ini tidak mengurangi kelanjutan berlakunya perbuatan-perbuatan yang jika telah dilakukan terhadap pihak ketiga selama waktu antara perceraian itu dan perkawinan baru, dan tidak mengurangi kelanjutan berlakunya penetapan-penetapan hakim, yang sekiranya telah memecat atau melepaskan suami-istri itu dari perwalian pada anak-anak mereka sendiri, penetapan-penetapan mana harus dipandang sebagai pemecatan atau pelepasan dari kekuasaan orang tua. Segala persetujuan antara suami-istri yang bertentangan dengan ini adalah batal.(KUHPerd. 33, 149, 196-198.)

Bab XI
Pisah meja dan ranjang
233. Jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, si suami atau si istri berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang. ugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah seorang dari suami-istri itu terhadap yang lainnya. (Ov. 63; KUHPerd. 126, 200, 209; Rv. 841.)
234. Gugatan itu diajukan, diperiksa dan diselesaikan dengan cara yang sama seperti gugatan untuk perceraian perkawinan. (KUHPerd. 207 dst., 216 dst.; Rv. 831 dst.)
235. Suami atau istri yang telah mengajukan gugatan untuk pisah meja dan ranjang, tidak dapat diterima untuk menuntut perceraian perkawinan atas dasar yang sama. (KUHPerd. 209.)
236. Pisah meja dan ranjang juga bisa ditetapkan oleh hakim atas permohonan kedua suami-istri bersama-sama, yang bisa diajukan tanpa kewajiban untuk mengemukakan alasan tertentu. Pisah meja dan ranjang tidak boleh diizinkan, kecuali bila suami-istri itu telah kawin selama dua tahun. (KUHPerd. 200, 202, 208.)
237. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Sebelum meminta pisah meja dan ranjang, suami-istri itu wajib mengatur dengan akta otentik semua persyaratan untuk itu, baik yang mengenai diri mereka maupun yang mengenai pelaksanaan kekuasaan orang tua dan urusan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka. Tindakan-tindakan yang telah mereka rancang untuk dilaksanakan selama pemeriksaan pengadilan, harus dikemukakan supaya dikuatkan oleh pengadilan negeri, dan jika perlu, supaya diatur olehnya. (KUHPerd. 104 dst., 124 dst., 149, 206, 212 dst., 229, 247, 298 dst.)
238. Permintaan kedua suami-istri harus diajukan dengan surat permohonan kepada pengadilan negeri tempat tinggal mereka; dan dalam surat itu harus dilampirkan baik salinan akta perkawinan maupun salinan perjanjian yang dibicarakan dalam alinea pertama pasal yang lampau. (Rv. 831 dst.)
239. Berkenaan dengan itu pengadilan negeri akan memerintahkan kedua suami-istri untuk bersama-sama secara pribadi menghadap seorang atau lebih hakim anggota yang akan memberi wejangan-wejangan seperlunya kepada mereka. Bila suami-istri itu bertahan dengan niat mereka, hakim akan memerintahkan mereka untuk menghadap lagi setelah lewat enam bulan. (Rv. 832, 834.) (Sdt dg. S. 1923-287 jo. 441.) Bila ternyata ada alasan sah yang menghalangi mereka untuk menghadap, maka hakim yang ditunjuk harus pergi ke rumah suami-istri itu, (sdt dg. S. 1923-287 jo. 441; sdu dg. S. 1925-497, 678 jo. 1926-63.) Bila suami-istri itu bertempat tinggal di luar daerah di mana pengadilan negeri itu bertempat kedudukan, pengadilan negeri atau dalam hal tidak ada badan semacam itu dapat menunjuk kepala daerah setempat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dimaksud dalam tiga alinea yang lampau. Kantor yang telah ditunjuk itu akan membuat berita acara tentang apa yang telah dilakukannya dan segera mengirimkan kepada pengadilan negeri. (Sdt dg. S. 1923-287 jo. 441.) Kapan seorang dari suami-istri itu atau kedua-duanya bertempat tinggal di luar Indonesia, pengadilan negeri itu bisa memohon kepada seorang hakim di negara tempat suami-istri itu berdiam, untuk memanggil kedua suami-istri atau salah seorang menghadap kepadanya dengan tujuan melakukan ikhtiar perdamaian, atau menugaskan hal ini kepada kantor perwakilan Indonesia di wilayah tempat suami-istri itu berdiam. Berita acara yang dibuat mengenai hal itu harus dikirimkan kepada pengadilan negeri itu.
240. (Sdu dg. S. 1927-31 jis 390, 421.) Pengadilan negeri harus mengambil keputusan enam bulan setelah bertahan pertemuan kedua. (KUHPerd. 202.) (Sdu dg. S. 1938-622.) Ketentuan-ketentuan pasal-pasal 230b dan 230C berlaku sama terhadap ibu dan bapak, yang tidak ditugaskan untuk melakukan kekuasaan orang tua.
241. Bila permohonan yang diajukan ditolak, paling lambat satu bulan setelah diberikan keputusan, suami-istri itu bersama-sama dapat mengajukan permohonan banding dengan surat permohonan.(Ov. 45; KUHPerd. 204, 236 dst., 247, 1023.)
242. Dengan pisah meja dan ranjang, perkawinan tidak dibubarkan, tetapi dengan itu suami-istri tidak lagi wajib untuk tinggal bersama. (KUHPerd. 21, 106 dst., 200.)
243. Pisah meja dan ranjang selalu berakibat perpisahan harta, dan akan menimbulkan dasar untuk pembagian harta bersama, seakan-akan perkawinan itu dibubarkan. (KUHPerd. 128, 186, 232, 1066 dst.)
244. Karena pisah meja dan ranjang, pengurusan suami atas harta istrinya ditangguhkan. Si istri mendapat kembali keleluasaan untuk mengurus hartanya, dan sekaligus adanya ketentuan dalam pasal 108 dapat memperoleh kuasa umum dari hakim untuk menggunakan barang-barangnya yang bergerak. (KUHPerd. 105, 124, 194.)
245. Putusan-putusan mengenai pisah meja dan ranjang harus diumumkan secara terang-terangan. Selama pengumuman terang-terangan ini belum berlangsung, putusan tentang pisah meja dan ranjang tidak berlaku bagi pihak ketiga. (KUHPerd. 152, 205, 221, 249; Rv. 826, 843.)
246. (Sdu dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ketentuan-ketentuan pasal 210 sampai dengan 220, pasal 222 sampai dengan 228, dan pasal 231, berlaku juga terhadap pisah meja dan ranjang yang diminta oleh salah seorang dari suami- istri terhadap yang lain. Setelah mengucapkan putusan tentang pisah meja dan ranjang, pengadilan negeri, setelah mendengar dan memanggil dengan sah kedua orang tua dan keluarga sedarah dan sĕmĕnda anak-anak yang masih di bawah umur, harus menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan kekuasaan orang tua atas diri tiap-tiap anak, kecuali bila kedua orang tua itu telah dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim yang terdahulu yang mungkin telah memecat atau melepaskan mereka dari kekuasaan orang tua. (KUHPerd. 319a.) Ketetapan ini berlaku setelah hari putusan tentang pisah meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum hari itu tidak usah dilakukan pemberitahuan, dan perlawanan serta banding pun tidak diperbolehkan. Terhadap penetapan ini, pihak orang tua yang tidak ditugaskan untuk melaksanakan kekuasaan orang tua, bisa melakukan perlawanan, bila atas panggilan termaksud dalam alinea kedua dia tidak menghadap. Pertandingan ini harus dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penetapan itu diberitahukan kepadanya. (Rv. 83.) Pihak orang tua yang telah menghadap atas pemanggilan dan tidak ditugaskan untuk melaksanakan kekuasaan orang tua, atau yang perlawanannya ditolak, boleh mohon banding terhadap penetapan itu dalam waktu tiga puluh hari setelah hari termaksud dalam alinea ketiga. (Rv. 341.) (Sdu dg. S. 1938-622.) Ketentuan pasal 230b dan pasal 230c berlaku sama terhadap ayah dan ibu yang tidak diserahi tugas melakukan kekuasaan orang tua. Terhadap pemeriksaan para orang tua itu berlaku alinea keempat pasal 206.
246a. (Sdt dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Berdasarkan kondisi yang timbul setelah putusan pisah meja dan ranjang mendapat kekuatan hukum yang pasti, pengadilan negeri bisa mengadakan perubahan pada penetapan-penetapan yang telah diberikan berdasarkan alinea kedua pasal yang lampau , atas permohonan kedua orang tua atau salah seorang dari mereka, setelah mendengar dan memanggil dengan sah kedua orang tua dan para keluarga sedarah atau sĕmĕnda dari anak-anak yang masih di bawah umur. Penetapan ini bisa dinyatakan dapat dilaksanakan segera meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan. (Rv. 54 dst.) Ketentuan alinea keempat dan kelima pasal 206 dalam hal ini terjadi.
246b. (Sdt dg. S. 1927-31 jis 390, 421.) Bila anak-anak yang masih di bawah umur itu belum berada dalam kekuasaan nyata orang yang berdasarkan pasal 246 dan pasal 246a diserahi tugas melaksanakan kekuasaan orang tua, atau dalam kekuasaan si ayah , si ibu atau dewan perwalian yang mungkin diserahi anak-anak itu berdasarkan alinea pertama pasal 246 dan sesuai dengan pasal 214, maka dalam penetapan itu juga harus diperintahkan penyerahan anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h dalam hal ini terjadi.
247. Bila setelah mempertimbangkan perjanjian yang dibicarakan dalam alinea pertama pasal 237, hakim mengabulkan permintaan pisah meja dan ranjang atas permohonan kedua suami-istri, maka pisah meja dan ranjang itu memperoleh segala akibat yang dijanjikan dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 206.)
248. Pisah meja dan ranjang menurut hukum dengan sendirinya batal karena perdamaian suami-istri, dan perdamaian itu menghidupkan kembali segala akibat dari perkawinan mereka, tanpa mengurangi berlangsungnya terus kekuatan perbuatan-perbuatan terhadap pihak-pihak ketiga, yang jika telah dilakukan dalam tenggang waktu antara perpisahan itu dan perdamaiannya. Semua persetujuan suami-istri yang bertentangan dengan ini adalah batal. (AB. 23; KUHPerd. 149, 196 dst., 200, 216, 244.)
249. Bila putusan yang menyatakan suami-istri pisah meja dan ranjang sudah diumumkan secara jelas, suami-istri itu tidak bisa menerapkan berlakunya akibat-akibat perdamaian mereka terhadap pihak ketiga, bila mereka tidak mengumumkan secara jelas, bahwa pisah meja dan ranjang itu telah tiada. (KUHPerd. 152, 245.)
Bab XII
Keayahan dan asal keturunan anak-anak
Bagian 1
Anak-anak sah.
250. Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya. (KUHPerd. 34, 95, 100-102, 106 dst., 1916)
251. Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh dari perkawinan, dapat diingkari oleh si suami. Namun pengingkaran itu tidak bisa dilakukan dalam hal-hal berikut: 1?. bila sebelum perkawinan, suami itu telah mengetahui kehamilan itu; 2?. bila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir, dan akta ini ditandatangani olehnya, atau mengambil suatu keterangan darinya yang berisi bahwa dia tidak dapat menandatanganinya; 3?. bila anak itu dilahirkan tidak hidup. (KUHPerd. 2; BS. 39.)
252. Si suami bisa mengingkari keabsahan si anak, bila dia dapat membuktikan, bahwa sejak hari ketiga ratus sampai keseratus delapan puluh sebelum lahirnya anak itu, dia telah berada dalam kondisi tidak mungkin untuk mengadakan hubungan jasmaniah dengan istrinya, baik karena kondisi terpisah, maupun karena sesuatu yang kebetulan saja. Dengan menunjuk kepada kelemahan alamiah jasmaninya, si suami tidak dapat mengingkari anak itu sebagai anaknya. (KUHPerd. 258, 1865.)
253. Si suami tidak dapat mengingkari keabsahan si anak atas dasar perzinahan, kecuali bila kelahiran si anak telah dirahasiakan terhadapnya; dalam hal itu, dia harus diperkenankan untuk menjadikan hal itu sebagai bukti yang sempurna, bahwa dia bukan ayah anak itu. (KUHPerd. 1965.)
254. Dia dapat mengingkari keabsahan seorang anak, yang dilahirkan tiga ratus hari setelah putusan pisah meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang pasti, tanpa mengurangi hak istrinya untuk mengemukakan peristiwa-peristiwa yang cocok kiranya untuk menjadi bukti bahwa suaminya adalah ayah anak itu. Bila pengingkaran itu telah dinyatakan sah, perdamaian antara suami-istri itu tidak menyebabkan anak itu memperoleh posisi sebagai anak sah. (KUHPerd. 221, 242, 248, 1965.)
255. Anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah bubarnya perkawinan adalah tidak sah. (KUHPerd. 106, 199.) (Sdt dg. S. 1923-31.) Bila kedua orang tua seorang anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah putusnya perkawinan kawin kembali satu sama lain, si anak tidak dapat memperoleh posisi anak sah selain dengan cara yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 2 bab ini.
256. Dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal 251, 252, 253, dan 254, pengingkaran keabsahan anak harus dilakukan si suami dalam waktu satu bulan, bila dia berada di tempat kelahiran anak itu, atau di sekitar itu: dalam waktu dua bulan setelah dia kembali, bila dia telah tidak berada di situ; dalam waktu dua bulan setelah diketahuinya penipuan, bila kelahiran anak itu telah disembunyikan terhadapnya.
Semua akta yang dibuat di luar pengadilan, yang berisi pengingkaran si suami, tidak memiliki kekuatan hukum, bila dalam dua bulan tidak diikuti oleh suatu tuntutan di muka hakim. Bila si suami, setelah melakukan pengingkaran dengan akta yang dibuat di luar pengadilan, meninggal dunia dalam jangka waktu tersebut di atas, maka untuk para ahli warisnya terbuka jangka waktu baru selama dua bulan untuk mengajukan tuntutan hukum mereka. (KUHPerd. 257 dst., 1058, 1979; lihat S. 1946-67.)
257. Tuntutan hukum yang diajukan oleh si suami itu gugur bila para ahli waris tidak melanjutkannya dalam waktu dua bulan, terhitung dari hari meninggalnya suami. (KUHPerd. 259, 1979.)
258. Bila si suami meninggal sebelum dia menerapkan haknya dalam hal ini, padahal waktunya untuk itu masih berjalan, maka para ahli warisnya tidak dapat mengingkari keabsahan anak itu selain dalam hal tersebut dalam pasal 252. Gugatan untuk membantah keabsahan anak itu harus dimulai dalam waktu dua bulan terhitung sejak anak itu memiliki harta-benda si suami, atau sejak para ahli warisnya terganggu dalam memilikinya oleh si anak. (KUHPerd. 259, 472, 833 dst.)
259. Dalam hal-hal di mana para ahli waris, berkenaan dengan pasal-pasal 256, 257, dan 258, memiliki wewenang untuk memulai atau melanjutkan suatu gugatan untuk membantah keabsahan seorang anak, mereka akan memperoleh jangka waktu satu tahun, bila salah seorang atau lebih dari mereka bertempat tinggal di luar negeri. Dalam hal ada perang di laut, jangka waktu itu dilipatduakan. Dengan S. 1946-67, berlaku 13 Juli 1946, ditentukan: (1) Hakim yang menangani gugatan yang dilakukan atau mungkin akan dilakukan untuk mengingkari keabsahan seorang anak, berwenang sampai pada waktu yang akan ditentukan oleh pemerintah, untuk memperpanjang jangka waktu yang diatur dalam pasal 256 sampai dengan 259 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk mengingkari keabsahan seorang anak dengan akta yang dibuat di luar pengadilan, untuk mengajukan suatu gugatan pengingkaran semacam itu, atau untuk melanjutkan gugatan demikian dengan jangka waktu tertentu atau sampai saat tertentu, bila pengindahan jangka waktu tersebut di atas karena kondisi-kondisi luar biasa, selayaknya tidak dapat diharapkan. (2) Perpanjangan waktu termaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh hakim karena jabatan.
260. Semua gugatan untuk mengingkari keabsahan seorang anak harus ditujukan kepada wali yang secara khusus diperbantukan kepada anak itu, dan ibunya harus dipanggil dengan sah untuk sidang itu. (KUHPerd. 102, 110, 310, 359, 1920.)
261. Asal-keturunan anak-anak sah dibuktikan dengan akta-akta kelahiran yang didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil. (BS. 34.) Bila tidak ada akta demikian, cukuplah bila seorang anak telah memiliki posisi tak terganggu sebagai anak sah. (KUHPerd. 13, 101, 286; BS. 37.)
262. Kepemilikan posisi demikian dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, menunjukkan hubungan karena kelahiran dan karena kekeluargaan antara orang tertentu dan keluarga yang diakui olehnya, bahwa dia termasuk di dalamnya. Yang terpenting dari peristiwa-peristiwa ini antara lain adalah: bahwa orang-orang itu selalu memakai nama si ayah yang dikatakannya telah menurunkannya; (KUHPerd. 10; BS. 30.) Bahwa ayah itu telah memperlakukan dia sebagai anaknya, dan dia sebagai anak telah dikelola dalam hat pendidikan, pemeliharaan dan penghidupannya; (KUHPerd. 104, 298 dst.) bahwa masyarakat senantiasa mengakui dia selaku anak si ayah; bahwa sanak-saudaranya mengakui dia sebagai anak si ayah.(KUHPerd. 102.)
263. Tidak ada seorang pun dapat menyandarkan diri pada posisi yang berlawanan dengan posisi yang nyata dinikmatinya dan sesuai dengan akta kelahirannya, dan sebaliknya tidak seorang pun dapat membantah posisi yang dimiliki seseorang sesuai dengan akta kelahirannya. (KUHPerd. 102, 322.)
264. Bila tidak ada akta kelahiran dan tidak nyata pemilikan kedudukan yang tak terputus-putus, dan bila anak itu didaftarkan dengan nama-nama palsu dalam daftar-daftar catatan sipil atau seakan-akan dilahirkan dari ayah-ibu yang tidak dikenal, maka asal-keturunannya dapat dibuktikan dengan saksi-saksi. Namun pembuktian dengan cara demikian tidak bisa diperkenankan, kecuali bila ada bukti permulaan tertulis; atau bila dugaan-dugaan atau petunjuk-petunjuk dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dibantah lagi kebenarannya, dapat dianggap cukup berbobot untuk memperkenankan pembuktian demikian. (KUHPerd. 288, 1922; BS. 27.)
265. Bukti permulaan tertulis adalah surat-surat keluarga, daftar-daftar dan surat-surat rumah tangga si ayah atau si ibu, atau akta-akta notaris atau akta-akta di bawah tangan yang berasal dari pihak-pihak yang tersangkut dalam perselisihan, atau bila masih hidup, mereka yang sedianya berkepentingan dalam perselisihan itu. (KUHPerd. 268, 1881, 1902; BS. 27.)
266. Bukti lawan itu terdiri dari segala alat bukti yang cocok untuk menunjukan, bahwa orang yang menyandarkan diri pada asal-keturunannya bukan anak dari ibu yang diakuinya sebagai ibunya; atau juga, bila soal ibu telah dibuktikan, bahwa dia bukan anak dari suami ibu itu. (KUHPerd. 264 dst., 286 dst.)
267. Hanya hakim perdatalah yang berwenang untuk mengadili tuntutan akan suatu kedudukan. (KUHPerd. 268, 1920.)
268. Tuntutan pidana karena kejahatan penggelapan kedudukan tidak dapat dilancarkan, sebelum keputusan akhir atas sengketa mengenai kedudukan itu diucapkan. Akan tetapi jawatan kejaksaan bebas untuk melancarkan suatu tuntutan pidana seperti itu, bila pihak-pihak yang berkepentingan tinggal diam, asalkan ada bukti permulaan tertulis, sesuai dengan ketentuan pasal 265, dan pada permulaan pemeriksaan pidana telah dinyatakan adanya bukti permulaan. (KUHPerd. 268, alinea kedua tak terjadi terhadap golongan Tionghoa, lihat Linda. 1-1? G.) Dalam hal terakhir ini, pemeriksaan perkara pidana di sidang umum tidak bisa ditunda karena pemeriksaan perkara perdata. (AB. 30; KUHPerd. 267, 1918; BS. 27 dst.; Sv. 409; KUHP 529.)
269. Gugatan untuk menarik kembali kedudukan terhadap si anak, tidak terkena kedaluwarsa. (KUHPerd. 1967, 1986.)
270. Para ahli waris anak yang tidak memperjuangkan kedudukannya, tidak dapat meluncurkan gugatan seperti itu, kecuali bila anak itu meninggal waktu masih di bawah umur atau dalam tiga tahun setelah menjadi dewasa. (KUHPerd. 258, 883, 1058.)
271. Namun para ahli waris itu dapat melanjutkan tuntutan hukum demikian, bila hati itu telah dimulai oleh anak itu, kecuali bila anak itu tidak melanjutkan tuntutan itu selama tiga tahun sejak tindakan acara yang terakhir dilakukan. (KUHPerd. 257, 833; Rv. 273 dst.)
271a. (Sdt dg. S. 1937-595, mb. 1 Januari 1939.) Orang yang gugatannya untuk memperjuangkan suatu kedudukan * 79 perdata atau untuk mengingkari keabsahan seorang anak dikabulkan, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti, harus menyuruh mendaftarkan putusan itu dalam daftar kelahiran yang sedang berjalan di tempat kelahiran anak itu didaftar. Hal ini harus diterangkan pada margin akta kelahiran itu.
Bagian 2
Konfirmasi anak-anak luar kawin
272. Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri. (KUHPerd. 40, 275, 277, 280 dst., 862, 867; BS. 53, 61-9?.)
273. Anak yang dilahirkan dari orang tua, yang tanpa memperoleh dispensasi dari pemerintah tidak bisa kawin satu sama lainnya, tidak dapat disahkan selain dengan cara mengakui anak itu dalam akta kelahiran. (KUHPerd. 29, 31, 280, 283.)
274. Kapan orang tua itu, sebelum atau pada waktu melakukan perkawinan, telah lalai untuk mengakui anak di luar kawin mereka, kelalaian ini dapat diperbaiki dengan surat konfirmasi dari pemerintah, yang diberikan setelah mendengar nasihat Mahkamah Agung. (Ov. 16; KUHPerd. 276; BS. 61-9?.)
275. (Sdu dg. S. 1896-115.) Dengan cara yang sama seperti yang diatur dalam pasal yang lampau, dapat juga disahkan anak di luar kawin yang telah diakui menurut hukum: 1?. bila anak itu lahir dari orang tua, yang karena kematian salah seorang dari mereka, perkawinan mereka tidak jadi dilaksanakan; 2?. bila anak itu dilahirkan oleh seorang ibu, yang termasuk golongan Indonesia atau yang disamakan dengan golongan itu; bila ibunya meninggal dunia, atau bila ada keberatan-keberatan penting terhadap perkawinan orang tua itu, menurut pertimbangan pemerintah. (KUHPerd. 272, 276, 278.)
276. (s.d.u. dg. S. 1896-115.) Dalam hal-hal seperti yang dinyatakan dalam dua pasal yang tersebut terakhir, Mahkamah Agung, bila menganggap perlu, sebelum memberikan nasihatnya, harus mendengar atau memerintahkan untuk mendengar keluarga sedarah si pemohon, dan bahkan dapat memerintahkan, bahwa permohonan pengesahan itu diumumkan dalam Berita Negara. (KUHPerd. 290.)
277. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pengesahan anak, baik dengan menyusulnya perkawinan orang tuanya maupun dengan surat pengesahan menurut pasal 274, menimbulkan akibat, bahwa terhadap anak-anak itu berlaku ketentuan undang-undang yang sama, seakan-akan mereka dilahirkan dalam perkawinan itu. (KUHPerd. 852.)
278. (s.d.u. dg. S. 1896-115.) Dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 275, pengesahan itu hanya berlaku mulai hari diberikannya surat pengesahan dari pemerintah; hal itu tidak boleh berakibat merugikan anak-anak sah sebelumnya dalam hal pewarisan, demikian pula hal itu tidak berlaku bagi keluarga sedarah lainnya dalam hal pewarisan, kecuali bila mereka yang terakhir ini telah menyetujui pemberian surat pengesahan itu. (KUHPerd. 852dst.)
279. Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan-ketentuan yang sama seperti yang tercantum dalam pasal-pasal yang lalu, anak yang telah meninggal dan meninggalkan keturunan, boleh juga disahkan; pengesahannya itu berakibat menguntungkan keturunan itu. (KUHPerd. 272, 274, 842, 852.)
Bagian 3
Pengakuan anak-anak luar kawin
280. Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan ayah atau ibunya. (KUHPerd. 30 dst., 40, 47, 272 dst., 306, 319, 328, 363, 363, 862, 871, 873, 908, 916.)
281. Pengakuan terhadap anak di luar kawin dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan perkawinan. (Not. 37a.) Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus dicantumkan pada tepi akta kelahiran, bila akta itu ada. (KUHPerd. 40, 272, 862, 908, 1868; BS. 41, 53, 61-9?.) Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada tepi akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada tepi akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.
282. Pengakuan anak di luar kawin oleh orang yang masih di bawah umur tidak ada harganya, kecuali jika orang yang masih di bawah umur itu telah mencapai umur genap sembilan belas tahun, dan pengakuan itu bukan akibat dari paksaan, kekeliruan, penipuan atau bujukan. (BS. 42.) Namun anak perempuan di bawah umur boleh melakukan pengakuan itu, sebelum dia mencapai umur sembilan belas tahun. (KUHPerd. 29, 108, 330, 446, 452, 1321, 1446, 1449.)
283. Anak yang dilahirkan karena perzinahan atau penodaan darah (incest), tidak boleh diakui, tanpa mengurangi ketentuan pasal 273 mengenai anak penodaan darah. (KUHPerd. 30 dst., 41, 252 dst., 272, 289, 867 dst.; BS. 42.)
284. (s.d.u. dg. S. 1896-108.)(1) Tiada pengakuan anak di luar kawin dapat diterima selama ibunya hidup, meskipun ibu itu termasuk golongan Indonesia atau yang disamakan dengan golongan itu, bila si ibu tidak menyetujui pengakuan itu. (KUHPerd. 280 dst., 354.) Bila anak demikian itu diakui setelah ibunya meninggal, pengakuan itu tidak mempunyai akibat lain daripada terhadap ayahnya. (KUHPerd. 288.) Dengan diakuinya seorang anak di luar kawin yang ibunya termasuk golongan Indonesia atau golongan yang disamakan dengan itu, berakhirlah hubungan perdata yang berasal dari hubungan keturunan yang alamiah, tanpa mengurangi akibat-akibat yang berhubungan dengan pengakuan oleh si ibu dalam hal-hal dia diberi wewenang untuk itu karena kemudian kawin dengan si ayah.
285. Pengakuan yang diberikan oleh salah seorang dari suami-istri selama perkawinan untuk kepentingan seorang anak di luar kawin, yang dibuahkan sebelum perkawinan dengan orang lain dari istrinya atau suaminya, tidak dapat mendatangkan kerugian, baik kepada suami atau istri itu maupun kepada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu. Walaupun demikian, pengakuan itu mempunyai akibat-akibat setelah pembubaran perkawinan, bila dari perkawinan itu tidak ada seorang keturunan pun yang lahir. (KUHPerd. 199, 277.)
286. Semua pengakuan yang dilakukan oleh ayah atau ibunya, demikian pula semua tuntutan akan kedudukan yang dilakukan oleh pihak si anak, dapat dibantah oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam hal itu. (KUHPerd. 261 dst., 282.)
287. Dilarang menyelidiki siapa ayah seorang anak. (s.d.u. dg. S. 1917-497.) Namun dalam hal kejahatan tersebut dalam pasal 285 sampai dengan 288, 294 atau 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bila saat dilakukannya kejahatan itu bertepatan dengan saat kehamilan perempuan yang terhadapnya, dilakukan kejahatan itu, maka atas gugatan pihak yang berkepentingan, orang yang bersalah boleh dinyatakan sebagai ayah anak itu. (KUHPerd. 252 dst.)
288. Menyelidiki siapa ibu seorang anak, diperkenankan. Dalam hal itu, si anak wajib membuktikan bahwa dia adalah anak yang dilahirkan ibu itu. Si anak tidak diperkenankan melakukan pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali bila telah ada bukti permulaan tertulis. (KUHPerd. 265, 1902, 1914.)
289. Tiada seorang anak pun diperkenankan menyelidiki siapa ayah atau ibunya, dalam hal-hal di mana menurut pasal 283 pengakuan tidak boleh dilakukan.
Bab XIII
Kekeluargaan sedarah dan semenda
290. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orang-orang, di mana yang seorang adalah keturunan dari yang lain, atau antara orang-orang yang mempunyai bapak asal yang sama. Hubungan kekeluargaan sedarah dihitung dengan jumlah kelahiran: setiap kelahiran disebut derajat. (KUHPerd. 30, 872 dst., 877.)
291. Urutan derajat yang satu dengan derajat yang lain disebut garis. Garis lurus adalah urutan derajat antara orang-orang, di mana yang satu merupakan keturunan dari yang lain; garis menyimpang ialah urutan derajat antara orang-orang, di mana yang seorang bukan keturunan dari yang lain tetapi mereka mempunyai bapak asal yang sama.
292. Dalam garis lurus, dibedakan garis lurus ke bawah dari garis lurus ke atas. Yang pertama merupakan hubungan antara bapak-asal dan keturunannya; yang terakhir adalah hubungan antara seseorang dan mereka yang menurunkannya. (KUHPerd. 842, 850, 852 dst., 857.)
293. Dalam garis lurus derajat-derajat antara dua orang dihitung menurut banyaknya kelahiran; dengan demikian, dalam garis ke bawah, seorang anak, dalam pertalian dengan ayahnya ada dalam derajat pertama, seorang cucu ada dalam derajat kedua, dan demikianlah seterusnya; sebaliknya, dalam garis ke atas, seorang bapak dan seorang kakek, sehubungan dengan anak dan cucu, ada dalam derajat pertama dan kedua, dan demikianlah seterusnya.
294. Dalam garis menyimpang, derajat-derajat dihitung dengan banyaknya kelahiran, mula-mula antara keluarga sedarah yang satu dan bapak-asal yang sama dan terdekat, dan selanjutnya antara yang terakhir ini dan keluarga sedarah yang lain; dengan demikian, dua orang bersaudara ada dalam derajat kedua, paman dan keponakan ada dalam derajat ketiga, saudara sepupu ada dalam derajat keempat, dan demikian seterusnya. (KUHPerd. 850.)
295. Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami-istri dan keluarga sedarah dari pihak lain. Antara keluarga sedarah pihak suami dan keluarga
sedarah pihak istri dan sebaliknya tidak ada kekeluargaan semenda. (KUHPerd. 30 dst., 322, 376.)
296. Derajat kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama seperti cara menghitung derajat kekeluargaan sedarah. (KUHPerd. 293.)
297. Dengan terjadinya suatu perceraian, kekeluargaan semenda antara salah satu dari suami-istri dan para keluarga sedarah dari pihak yang lain tidak dihapuskan. (KUHPerd. 30 dst., 199, 322-2, 323.)
Bab XIV - Kekuasaan orang tua
Bagian 1
Akibat-akibat kekuasaan orang tua terhadap pribadi si anak
298. Setiap anak, berapa pun juga umurnya, wajib menghormati dan menghargai orang tuanya. (Rv. 582; IR. 211.) (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu. Bagi yang sudah dewasa berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bagian 3 bab ini. (KUHPerd. 104, 145 dst., 193, 230, 320 dst., 328; S. 1911-55 jis. 1913-556, 1937-48.)
299. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 290, 421.) Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. (KUHPerd. 21, 35 dst., 104, 230, 330, 419, 424, 426, 430, 1367.)
300. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu.
Bila si ayah berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang.
Bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh pengadilan negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. (KUHPerd. 105, 230, 451, 496.)
301. (Dihapus dg S. 1927-31 jis. 390, 421; s.d.t. dg. S. 1938-622.) Tanpa mengurangi ketentuan dalam hal pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang, perceraian perkawinan, serta pisah meja dan ranjang, orang tua itu wajib untuk tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan atau tiap-tiap tiga bulan, membayar kepada dewan wali sebanyak yang ditetapkan oleh pengadilan negeri atas tuntutan dewan itu, untuk kepentingan pemeliharaan dan pendidikan anak mereka yang masih di bawah umur, pun sekiranya mereka tidak mempunyai kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu dan tidak dibebaskan atau dipecatdari itu.
302. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila si ayah atau si ibu yang melakukan kekuasaan orang tua mempunyai alasan-alasan yang sungguh-sungguh untuk merasa tak puas akan kelakuan anaknya, maka pengadilan negeri, atas permohonannya atau atas permohonan dewan wali, asal dewan ini diminta olehnya untuk itu dan melakukannya untuk kepentingannya, boleh memerintahkan penampungan anak itu selama waktu tertentu dalam suatu lembaga negara atau swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penampungan ini dibiayai oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua, atau bila dia tidak mampu, oleh anak itu; penampungan itu tidak boleh diperintahkan untuk lebih lama dari enam bulan berturut-turut, bila pada waktu penetapan itu si anak belum mencapai umur empat belas tahun, atau bila pada waktu penetapan itu dicapai umur itu, paling lama satu tahun dan sekali-kali tidak boleh melewati saat dia mencapai kedewasaan. Pengadilan negeri tidak boleh memerintahkan penampungan sebelum mendengar dewan perwalian dan, dengan tidak mengurangi ketentuan alinea pertama pasal 303, sebelum mendengar anak itu; bila orang tua yang satu lagi tidak kehilangan kekuasaan orang tua, maka dia pun harus didengar lebih dahulu, setidak-tidaknya dipanggil dengan sah. Alinea keempat pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan tersebut terakhir.
303. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila si anak itu tidak menghadap untuk didengar pada hari yang ditentukan, pengadilan negeri harus menunda pemeriksaan itu sampai hari yang kemudian lantas ditentukan, dan harus memerintahkan, agar pada hari itu anak itu dibawa ke hadapannya oleh jurusita atau polisi; penetapan ini dilaksanakan atas perintah jawatan kejaksaan; bila ternyata anak itu pada hari itu tidak menghadap, maka pengadilan negeri, tanpa mendengar anak itu, boleh memerintahkan penampungan atau menolaknya. Dalam hal ini tidak usah diindahkan tertib acara selanjutnya, kecuali perintah untuk penampungan, yang tidak usah dinyatakan alasan-alasannya. Bila pengadilan negeri, dalam penetapan, memutuskan bahwa orang yang melakukan kekuasaan orang tua dan anak itu tidak mampu membiayai penampungan itu, maka segala biaya dibebankan kepada negara. Penetapan yang memerintahkan penampungan itu, harus dilaksanakan atas perintah jawatan kejaksaan atas permohonan orang yang melakukan kekuasaan orang tua.
304. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dengan penetapan Menteri Kehakiman, anak itu sewaktu-waktu boleh dilepaskan dari lembaga seperti yang dimaksud dalam pasal 302, bila alasan penampungan itu tidak ada lagi, atau bila keadaan jasmaninya atau keadaan rohaninya tidak mengizinkan untuk tinggal lebih lama lagi di situ. Orang yang menjalankan kekuasaan orang tua, tetap bebas untuk memperpendek waktu penampungan yang ditentukan dalam perintah. Untuk perpanjangan, harus diindahkan lagi apa yang ditentukan dalam pasal 302 dan pasal 303. Pengadilan negeri hanya boleh memerintahkan perpanjangan itu tiap-tiap kali untuk jangka waktu yang tidak lebih dari enam bulan berturut-turut; perintah itu tidak boleh diberikan sebelum kepala lembaga tempat anak itu tinggal waktu permohonan untuk perpanjangan diajukan, atau orang yang menggantikannya didengar atas permohonan itu, jika perlu secara tertulis.
305. Hapus dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.
306. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Anak di luar kawin yang diakui secara sah sama sekali berada di bawah perwalian. Pasal 298 berlaku baginya. (KUHPerd. 280 dst.) (s.d.t. dg. S. 1938-622.) Ketentuan pasal 301 berlaku bagi orang yang telah mengakui anak luar kawin yang belum dewasa, bila ia tidak melakukan kekuasaan perwalian atas anak itu tanpa dibebaskan atau dipecat dari itu.
Bagian 2
Akibat-akibat kekuasaan orang tua terhadap barang-barang si anak.
307. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Orang yang melakukan kekuasaan orang tua atas seorang anak yang masih di bawah umur, harus mengurus barang-barang kepunyaan anak itu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 237 dan alinea terakhir pasal 319e.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap barang-barang yang dihibahkan atau diwasiatkan kepada anak-anak, baik dengan akta antara yang sama-sama masih hidup maupun dengan surat wasiat, dengan ketentuan bahwa pengurusan atas barang-barang itu akan dilakukan oleh seorang pengurus atau lebih yang ditunjuk untuk itu di luar orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Bila pengurusan yang diatur demikian, karena alasan apa pun juga sekiranya, hapus, maka barang-barang termaksud, beralih pengelolaannya kepada orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Meskipun ada pengangkatan pengurus-pengurus khusus seperti di atas, orang yang melakukan kekuasaan orang tua mempunyai hak untuk minta perhitungan dan pertanggungjawaban dari orang-orang tersebut selama anaknya belum dewasa. (KUHPerd. 140, 300, 3852, 1019.)
308. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Orang yang berdasarkan kekuasaan orang tua wajib mengurus barang-barang anak-anaknya, harus bertanggungjawab, baik atas hak milik barang-barang itu maupun atas pendapatan dari barang-barang demikian yang tidak boleh dinikmatinya. Mengenai barang-barang yang hasilnya menurut undang-undang boleh dinikmatinya, ia hanya bertanggung jawab atas hak miliknya. (KUHPerd. 311, 840.)
309. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dia tidak boleh memindahtangankan barang-barang anak-anaknya yang masih di bawah umur, kecuali dengan mengindahkan peraturan-peraturan yang diatur dalam Bab XV Buku Pertama mengenai pemindahtanganan barang-barang kepunyaan anak-anak di bawah umur. (KUHPerd. 393 dst., 1685; LN. 1953-86, pasal 7 di bawah KUHPerd. 383.)
310. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam hal-hal di mana dia mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan anak-anaknya yang di bawah umur, maka anak-anak ini harus diwakili oleh pengampu khusus yang diangkat untuk itu oleh pengadilan negeri. (KUHPerd. 260, 366, 370.)
311. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ayah atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak menikmati hasil dari barang-barang anak-anaknya yang belum dewasa. (S. 1927-31.) Dalam hal orang tua itu, baik si ayah maupun si ibu, dilepaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, kedua orang tua itu berhak untuk menikmati hasil dari harta kekayaan anak-anak mereka yang masih di bawah umur.
Pembebasan si ayah atau si ibu yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, sedang orang tua yang lainnya telah meninggal atau dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian, tidak berakibat terhadap hak menikmati hasil. (KUHPerd. 127, 206, 237, 299 dst., 308, 313, 321, 390, 496, 756 dst., 809, 840; LN. 1953-86, pasal 7 di bawah KUHPerd. 393.)
312. Dengan hak menikmati hasil itu, terkait kewajiban-kewajiban berikut:
1. hal-hal yang diwajibkan bagi pemegang hak pakai hasil; (KUPerd. 782 dst., 7852.) 2. pemeliharaan dan pendidikan anak-anak itu, sesuai dengan harta kekayaan mereka yang disebut terakhir; (KUHPerd. 2982.) 3. pembayaran semua angsuran dan bunga atas uang pokok; (KUHPerd. 511-2, 796, 800.) 4. biaya penguburan si anak. (KUHPerd. 127.)
313. Hak menikmati hasil tidak terjadi: (LN. 1953-86, pasal 7 di bawah KUH-Perd. 383.)
1. terhadap barang-barang yang diperoleh anak-anak itu sendiri dari pekerjaan dan usaha sendiri; 2. terhadap barang-barang yang dihibahkan dengan akta semasa pewaris masih hidup atau dihibahkan dengan wasiat kepada mereka, dengan persyaratan tegas, bahwa kedua orang tua mereka tidak berhak menikmati hasilnya. (KUH-Perd. 307, 318, 840.)
314. Hak menikmati hasil berhenti dengan-kematian anak-anak itu. (KUHPerd.
807 dst., 809.)
315. Si ayah atau si ibu yang hidup terlama, sekiranya telah lalai untuk menyelenggarakan pendaftaran sesuai dengan pasal 127, oleh kelalaian itu kehilangan hak menikmati hasil atas seluruh barang-barang kepunyaan anak-anaknya yang masih di bawah umur. (KUHPerd. 318.)
316, 317. Hapus dg. S. 1927-31 jis, 390, 421.
318. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila hak menikmati hasil itu hilang berdasarkan pasal 315, pengadilan negeri boleh menetapkan pembayaran kepada orang tua yang hidup terlama suatu tunjangan tahunan dari pendapatan anak-anaknya agar dipergunakan untuk memajukan pendidikan mereka selama mereka masih di bawah umur. (F. 21-5.)
319. Ayah atau ibu anak-anak di luar kawin yang diakui secara sah, tidak mempunyai hak menikmati hasil atas banrang-barang kepunyaan anak-anak itu. (KUHPerd. 306, 328, 353.)
Dengan S. 1927-31 jis. 390, 421 bagian berikut ini ditambahkan:
Bagian: 2a
Pembebasan, dan pemecatan dari kekuasaan orang tua.
319a. Si ayah atau si ibu yang melakukan kekuasaan orang tua, dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak-anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan jawatan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, dan kepentingan anak-anak itu tidak berlawanan dengan pembebasan itu berdasarkan hal lain. (KUHPerd. 382c, 416a.)
Bila hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing dari orang tua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak itu sampai dengan derajat keempat, atau dewan perwalian, atau jawatan kejaksaan, atas dasar:
1. menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih; 2. berkelakuan buruk; 3. dijatuhi hukuman yang tak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya; (KUHP. 55 dst.) 4. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan suatu kejahatan yang tercantum dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX, Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap seorang di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya; 5. dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih.
Dalam pasal ini pengertian kejahatan meliputi juga keikutsertaan membantu dan percobaan melakukan kejahatan. (KUHP. 53 dst., 56.)
319b. Permohonan atau tuntutan yang dimaksud dalam pasal yang lalu, harus memuat peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang menjadi dasarnya, dan diajukan bersama dengan surat-surat yang diperlukan sebagai bukti kepada pengadilan negeri di tempat tinggal orang tua yang dimintakan pembebasannya atau pemecatannya, atau bila tidak ada tempat tinggal yang demikian, kepada pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang terakhir, atau bila permohonan atau tuntutan itu mengenai pembebasan atau pemecatan salah seorang dari orang tua yang diserahi tugas melakukan kekuasaan orang tua setelah pisah meja dan ranjang, kepada pengadilan negeri yang telah menangani permohonan pisah meja dan ranjang. Dalam permohonan atau tuntutan itu, oleh panitera pengadilan harus dicatat terlebih dahulu hari pengajuannya. Kemudian salinan permohonan atau tuntutan itu beserta surat-surat tersebut di atas harus disampaikan secepatnya oleh panitera pengadilan negeri kepada dewan perwalian, kecuali bila permohonan atau tuntutan untuk pelepasan atau pemecatan itu diajukan oleh dewan perwalian sendiri. (KUHPerd. 381.) Dalam permohonan atau tuntutan akan pembebasan, sedapat-dapatnya diberitahukan juga dengan cara bagaimana kekuasaan orang tua atau perwaliannya harus diatur, dan dalam setiap permohonan atau tuntutan termaksud dalam pasal yang lalu, harus disebut juga nama kedua orang tua, tempat tinggal dan tempat kediaman mereka sejauh hal ini diketahui, nama dan tempat tinggal keluarga sedarah atau keluarga semenda, yang menurut pasal 333 harus dipanggil, demikian pula nama dan tempat tinggal para saksi yang kiranya dapat membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan dalam permohonan atau tuntutan tersebut. (KUHPerd. 19, 1895.) Pembebasan tidak boleh diperintahkan, bila orang yang melakukan kekuasaan orang tua menentangnya.
319c. Pengadilan negeri mengambil keputusan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua orang tua dan keluarga sedarah atau semenda anak itu dan setelah mendengar dewan perwalian. Pengadilan negeri boleh memerintahkan supaya saksi-saksi yang ditunjuk dan dipilih olehnya, baik dari keluarga sedarah atau semenda maupun dari luar mereka, dipanggil untuk didengar di bawah sumpah. (KUHPerd. 381a, 416a, 1895.) Bila kedua orang tua atau saksi-saksi yang harus didengar bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri, maka tugas mendengar itu boleh dilimpahkan dengan cara seperti yang ditentukan bagi keluarga sedarah atau semenda dalam pasal 333. Anak kalimat terakhir alinea keempat pasal 206 berlaku juga bagi kedua orang tua. (KUHPerd. 334, 381a.)
319d. Semua panggilan harus dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 bagi keluarga sedarah dan semenda; tetapi bila harus dilakukan panggilan terhadap seseorang yang tempat tinggalnya tidak diketahui, hal itu harus segera dipasang oleh panitera dalam satu atau beberapa surat kabar yang ditunjuk oleh pengadilan negeri itu. Panggilan terhadap orang yang pembebasannya atau pemecatannya dari kekuasaan orang tua dimohon atau dituntut, harus disertai keterangan singkat tentang isi permohonan atau tuntutan itu, kecuali bila tempat tinggalnya tidak diketahui. Bila perlu, pengadilan negeri boleh juga mendengar orang-orang selain mereka yang telah ditunjuk, sebagai saksi di bawah sumpah, pula orang-orang yang telah menghadap pada hari yang ditentukan itu, dan boleh pula menetapkan akan memeriksa saksi-saksi lebih lanjut; saksi-saksi terakhir ini harus ditunjuk dalam penetapan itu dan harus dipanggil dengan cara yang sama.
319e. Selama pemeriksaan, setiap penduduk Indonesia yang berwenang untuk melakukan perwalian itu dan setiap pengurus perkumpulan, yayasan dan lembaga amal boleh mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri supaya ditugaskan memangku perwalian itu. Pengadilan negeri boleh memerintahkan pemanggilan mereka untuk didengar tentang surat permohonan itu. Alinea keempat pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan orang-orang tersebut. (KUHPerd. 381d.) Jika permohonan atau tuntutan itu dikabulkan, suami atau istri orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, dengan sendirinya menurut hukum harus melakukan kekuasaan orang tua, kecuali bila dia pun juga telah dibebaskan atau dipecat. Namun demikian, pengadilan negeri, atas permohonan dewan perwalian, atau atas tuntutan jawatan kejaksaan, atau karena jabatan, boleh membebaskannya juga dari kekuasaan orang tua, bila ada alasan untuk itu. Terhadap pembebasan ini berlaku alinea terakhir pasal 319b. (KUHPerd. 374a.) Bila terjadi pembebasan yang seperti itu, demikian pula bila suami atau istrinya juga telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, maka pengadilan negeri harus mengadakan perwalian bagi anak-anak yang terlepas dari kekuasaan orang tua. Dalam penetapan tentang pembebasan atau pemecatan itu, orang tua yang kehilangan kekuasaan orang tua, harus dijatuhi hukuman memberikan perhitungan dan pertanggungjawaban kepada istrinya atau suaminya, atau kepada dewan perwalian. Bila anak-anak yang diserahkan kepada kekuasaan orang tua atau perwalian beberapa orang, mempunyai hak milik bersama atas barang-barang, pengadilan negeri boleh menunjuk salah seorang dari mereka atau orang lain untuk mengurus barang-barang itu, dengan jaminan-jaminan yang ditetapkan pengadilan negeri, sampai diadakan pemisahan dan pembagian menurut Bab XVII Buku Kedua. (KUHPerd. 406a, 573.)
319f. Pemeriksaan perkara ini berlangsung dalam sidang tertutup. Keputusan beserta alasan-alasannya harus diucapkan di muka umum sesegera mungkin setelah pemeriksaan terakhir; keputusan ini boleh dinyatakan dapat dilaksanakan segera meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan, dan semuanya atas naskah aslinya. (Rv. 54 dst., 297.) Bila orang yang dimohon atau dituntut pembebasannya atau pemecatannya itu atas panggilan tidak datang, maka ia boleh mengajukan perlawanan dalam tiga puluh hari setelah keputusan itu atau akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau yang dibuat untuk melaksanakan hal itu disampaikan kepadanya, atau setelah ia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan, bahwa keputusan itu atau permulaan pelaksanaannya telah diketahui olehnya. (Rv. 83.) Orang yang permohonannya atau jawatan kejaksaan yang tuntutannya untuk pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua ditolak, dan orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua kendati telah menghadap setelah dipanggil, demikian pula orang yang perlawanannya ditolak, boleh naik banding dalam waktu tiga puluh hari setelah keputusan diucapkan. (Rv. 341.) Bila tujuan permohonan atau tuntutan itu adalah pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua, maka selama pemeriksaan, pengadilan negeri bebas untuk menunda sementara pelaksanaan kekuasaan orang tua, seluruhnya atau sebagian, dan menyerahkan wewenang atas diri dan barang-barang anak-anak itu, sekiranya pengadilan negeri menganggap hal itu perlu, kepada istri atau suami orang yang digugat, atau kepada orang yang ditunjuk oleh dewan perwalian, atau kepada dewan perwalian. (KUHPerd. 416a.) Terhadap penetapan termaksud dalam alinea yang lalu tidak diperkenankan mengajukan perlawanan atau naik banding. Penetapan itu tetap berlaku sampai keputusan tentang pemecatan memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak di bawah umur, yang menurut alinea kelima harus dikeluarkan oleh orang yang ditunjuk oleh pengadilan negeri, atau oleh dewan perwalian, boleh diambil dari harta kekayaan dan pendapatan anak-anak yang masih di bawah umur, dan jika anak-anak itu tidak mampu, dari harta kekayaan dan pendapatan orang tua mereka; kedua orang tua ini bertanggung jawab atas biaya-biaya itu secara tanggung-menanggung. Orang yang mengajukan tuntutan di muka hakim untuk perhitungan dan pertanggungjawaban demikian, harus dianggap telah mendapat izin dari hakim untuk berperkara secara cuma-cuma. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang yang mengajukan kembali tuntutannya yang telah ditolak. (Rv. 872 dst., 890a.)
319g. (s.d.u. dg. S. 1928-546.) Orang yang telah dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan mereka yang berwenang untuk memohon pembebasan atau pemecatan menurut pasal 319a, atau atas tuntutan jawatan kejaksaan, boleh diberi kekuasaan orang tua kembali atau diangkat menjadi wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur, bila ternyata, bahwa peristiwa-peristiwa yang telah mengakibatkan pembebasan atau pemecatan, tidak lagi menjadi halangan untuk pemulihan atau pengangkatan itu. Demikian pula, orang yang telah dibebaskan atau dipecat dari perwalian atas anak-anaknya sendiri dan kemudian kawin kembali dengan suami atau istri yang dahulu, selama perkawinan itu, boleh diberi kekuasaan orang tua kembali. Permohonan atau tuntutan untuk itu harus diajukan kepada pengadilan negeri yang dulu menangani permohonan atau tuntutan untuk pembebasan atau pemecatan, kecuali bila yang dibebaskan atau dipecat itu pisah meja dan ranjang, atau perkawinannya dibubarkan oleh perceraian perkawinan atau setelah pisah meja dan ranjang; dalam hal kekecualian ini, semua permohonan atau tuntutan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang telah menangani permohonan atau tuntutan untuk pisah meja dan ranjang, perceraian atau pembubaran perkawinan. Pengadilan negeri, sebelum mengambil keputusan, harus mendengar atau memanggil dengan sah, jika mungkin, kedua orang tua, keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak, beserta dewan perwalian; bila anak-anak itu berada di bawah perwalian, yang harus didengar atau dipanggil dengan sah adalah wali atau pengurus perkumpulan, yayasan atau lembaga amal yang ditugaskan melakukan perwalian, dan wali pengawasnya. Bila perlu, pengadilan negeri boleh memerintahkan agar saksi-saksi yang dipilih, baik dari keluarga sedarah maupun dari keluarga semenda, didengar di bawah sumpah. (KUHPerd. 381a, 461a, 1895.) Bila saksi-saksi yang harus didengar itu bertempat tinggal atau berkediaman di luar daerah hukum pengadilan negeri yang memeriksa permintaan, maka pemeriksaan boleh dilimpahkan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan semenda. Ketentuan dalam anak kalimat terakhir dari alinea keempat pasal 206 berlaku, kecuali bagi para saksi. Pemeriksaan perkara ini dilakukan dalam sidang tertutup. Keputusan beserta alasan-alasannya harus diucapkan di muka umum. Keputusan itu boleh dinyatakan dapat dilaksanakan segera meskipun ada perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan, semuanya atas naskah aslinya. (Rv. 54 dst., 297.) Terhadap keputusan yang mengabulkan permohonan atau tuntutan, orang tua yang dengan itu kehilangan kekuasaan orang tua atau perwaliannya, bila dia telah tidak menghadap atas panggilan, boleh melakukan perlawanan dalam tiga puluh hari setelah keputusan itu atau suatu akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau untuk pelaksanaannya telah disampaikan kepadanya pribadi, atau setelah dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan, bahwa keputusan itu atau pelaksanaannya yang telah dimulai diketahui olehnya. (Rv. 83.) Dalam waktu tiga puluh hari setelah keputusan diucapkan, permohonan banding boleh diajukan oleh orang yang permohonannya ditolak, atau oleh jawatan kejaksaan yang tuntutannya ditolak, demikian pula oleh orang yang perlawanannya ditolak, serta oleh orang yang telah didengar dan meskipun menentangnya, terhadapnya permohonan dan tuntutan itu dikabulkan (Rv. 341.)
319h. Bila anak-anak yang masih di bawah umur tidak nyata-nyata berada dalam kekuasaan orang atau pengurus perkumpulan, yayasan atau lembaga amal, yang mendapat tugas melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian berdasarkan keputusan hakim termaksud dalam bagian ini, atau dalam kekuasaan orang atau dewan perwalian yang mungkin kepadanya anak-anak itu dipercayakan berdasarkan penetapan termaksud dalam pasal 319f, alinea kelima, maka dalam keputusan itu juga harus diperintahkan penyerahan anak-anak itu kepada pihak yang berdasarkan keputusan itu mendapat kekuasaan atas anak-anak yang masih di bawah umur itu. Bila orang yang memegang kekuasaan yang nyata atas anak-anak yang di bawah umur itu menolak untuk menyerahkan anak-anak itu, maka pihak yang menurut keputusan hakim mendapat kekuasaan atas anak-anak itu, dapat berusaha agar penyerahan dilakukan oleh juru sita yang diserahi tugas olehnya untuk melaksanakan keputusan itu. Keputusan itu tidak boleh dilaksanakan sebelum disampaikan kepada pihak yang kekuasaannya atas anak-anak itu dicabut, serta kepada pihak yang dalam kekuasaannya yang nyata anak-anak di bawah umur itu berada. Bila terjadi perlawanan secara nyata, juru sita boleh meminta bantuan polisi. Juru sita boleh memasuki tiap-tiap tempat anak-anak yang di bawah umur berada atau diperkirakan berada; tetapi bila anak-anak yang di bawah umur itu berada atau diperkirakan berada dalam rumah, yang dilarang oleh penghuninya dimasuki atau yang pintu-pintunya terkunci, juru sita boleh menghubungi kepala daerah setempat, atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala daerah itu, dan dalam kehadirannya masuk ke dalam rumah itu. Kehadiran kepala daerah atau seorang pegawai dan apa yang dilakukan dalam kehadirannya berdasarkan pasal ini, harus dicantumkan dalam berita acara pelaksanaan yang harus ditandatangani juga olehnya.
319i. Jawatan kejaksaan, baik jika terjadi peristiwa yang dapat menjadi alasan untuk mengadakan pemecatan dari kekuasaan orang tua, maupun jika ada anak di bawah umur yang terlantar atau tanpa pengawasan, berhak mempercayakan anak-anak di bawah umur itu untuk sementara kepada dewan perwalian, sampai pengadilan mengangkat seorang pemangku kekuasaan orang tua atau perwalian, atau sampai pengadilan menetapkan tidak perlu diadakan pengangkatan dan ketetapan ini mendapat kekuatan tetap. Ketentuan alinea ketujuh dan kedelapan pasal 319f berlaku dalam hal ini. (KUHPerd. 416a.)Bila jawatan kejaksaan mempergunakan wewenang termaksud di atas sebelum mengajukan permohonan atau tuntutan untuk pemecatan itu, kepada hakim dia wajib mengajukan tuntutan itu sesegera mungkin. Perintah untuk menyerahkan pengawasan anak yang masih di bawah umur kepada dewan perwalian, menghentikan pelaksanaan kekuasaan orang tua sejauh hal itu mengenai diri anak itu. Bila pihak yang bersangkutan menolak untuk menyerahkan anak yang di bawah umur itu kepada dewan perwalian, maka jawatan kejaksaan berhak memerintahkan juru sita membawa anak itu kepada dewan perwalian atau memerintahkan polisi untuk melaksanakan surat perintahnya. Ketentuan alinea ketiga, keempat dan kelima pasal 319h berlaku juga dalam hal ini. (S. 1928-179.)
319j. (s.d.u. dg. S. 1938-622.) Orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, wajib memberikan tunjangan kepada dewan perwalian untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang telah ditarik dari kekuasaannya, tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan, atau tiap-tiap tiga bulan, sebesar jumlah yang ditentukan oleh pengadilan negeri atas permohonan dewan perwalian. Bila penentuan tunjangan itu telah dimohon oleh dewan perwalian dalam permohonan untuk pelepasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua kepada pengadilan negeri, atau telah dimohon selama berjalan pemeriksaan termaksud dalam pasal 319e, maka pengadilan harus menentukan tunjangan itu dalam penetapan yang menyatakan pelepasan atau pemecatan itu. (KUHPerd. 298.)
(Alinea kedua-kelima dihapus dg. S. 1938-622.)
319k. (s.d.u. dg. S. 1938-622.) Tiap-tiap keputusan yang mengandung pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua, harus segera diberitahukan oleh panitera berupa salinan kepada pihak yang menerima kekuasaan orang tua itu atau kepada pihak yang ditugaskan untuk melakukan perwalian, demikian pula kepada dewan perwalian.
Pemberitahuan yang sama harus dilakukan oleh panitera tentang penetapan-penetapan pengadilan termaksud dalam pasal yang lalu. (Alinea ketiga-kedelapan dihapus dg. S. 1938-622.)
319l. Hapus dg. S. 1928-622.
319m. Segala surat-surat permohonan, tuntutan, penetapan, pemberitahuan dan semua surat lain yang dibuat untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam bagian ini, bebas dari meterai. Segala permohonan termaksud dalam bagian ini, yang diajukan oleh dewan perwalian, harus diperiksa oleh pengadilan dengan cuma-cuma, dan salinan-salinan yang diminta oleh dewan-dewan itu untuk kepentingan tugas yang diperintahkan kepadanya, harus diberikan oleh panitera kepada mereka secara bebas dari segala biaya.
Bagian 3
Kewajiban-kewajiban timbal-balik antara kedua orang tua atau keluarga sedarah dalam garis ke atas dan anak-anak beserta keturunan mereka selanjutnya
320. Anak tidak berhak menuntut kedudukan yang tetap dari orang tuanya dengan cara menyediakan segala sesuatu untuk itu sebelum ia kawin, atau dengan cara lain. (KUHPerd. 104, 298, 1096.)
321. Setiap anak wajib memberi nafkah orang tua dan keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, bila mereka ini dalam keadaan miskin. (KUHPerd. 311, 323, 329, 1282, 1296, 1429-31; Rv. 749-3.)
322. Menantu laki-laki dan perempuan juga, dalam hal-hal yang sama, wajib memberi nafkah kepada mertua mereka, tetapi kewajiban ini berakhir:
1. bila si ibu mertua melangsungkan perkawinan kedua; 2. bila suami atau istri yang menimbulkan hubungan keluarga semenda itu, dan anak-anak dari perkawinan dengan istri atau suaminya telah meninggal dunia. (KUHPerd. 107, 297, 323.)
323. Kewajiban-kewajiban yang timbul dari ketentuan-ketentuan dua pasal yang lalu berlaku timbal-balik. (KUHPerd. 329.)
324 dan 325. Hapus. dg. S. 1938-622.
326. Bila orang yang wajib memberi nafkah itu membuktikan bahwa ia tidak mampu menyediakan uang untuk itu, pengadilan negeri dapat memerintahkan, setelah menyelidiki duduknya perkara, agar dia membawa orang yang wajib dipeliharanya ke rumahnya dan menyediakan kebutuhannya di sana.
327. Bila si ayah atau si ibu menawarkan untuk memberi nafkah dan memelihara di rumahnya anak yang wajib diberinya nafkah, maka ia karena itu terbebas dari keharusan untuk memenuhi kewajiban itu dengan cara lain. (KUHPerd. 104 dst., 326.)
328. Anak di luar kawin yang diakui menurut undang-undang wajib memelihara orang tuanya. Kewajiban ini berlaku timbal-balik. (KUHPerd. 280, 319, 323, 867.)
329. Perjanjian-perjanjian di mana dilepaskan hak untuk menikmati nafkah adalah batal dan tidak berlaku. (AB.23.) Berdasarkan S. 1938-622, mb. 22 Des. 1938, ditambahkan bab berikut:
Bab XIVa - Penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
329a. Nafkah yang diwajibkan menurut buku ini, termasuk yang diwajibkan untuk pemeliharaan dan pendidikan seorang anak di bawah umur, harus ditentukan menurut perbandingan kebutuhan pihak yang berhak atas pemeliharaan itu, dengan pendapatan dan kemampuan pihak yang wajib membayar, dihubungkan dengan jumlah dan keadaan orang-orang yang menurut buku ini menjadi tanggungannya.
329b. Penetapan mengenai tunjangan, atas tuntutan pihak yang dihukum untuk membayar nafkah atau atas tuntutan pihak yang harus diberi nafkah, boleh diubah atau dicabut oleh hakim. Perubahan atau pencabutan itu harus didasarkan atas pertimbangan, bahwa perbandingan nyata antara kebutuhan orang yang berhak atas nafkah itu di satu pihak dan pendapatan dan kekayaan orang yang dihukum untuk membayar sehubungan dengan beban-beban yang menjadi tanggungannya di lain pihak, sejak saat penetapan itu diberikan telah berubah sedemikian mencolok, sehingga seandainya perbandingan yang berubah ini ada pada saat tersebut, maka penetapan itu sedianya akan lain.
Dengan cara yang sama, peraturan yang telah dimufakati oleh kedua pihak mengenai nafkah yang diwajibkan berdasarkan buku ini, boleh diubah atau dicabut oleh hakim.
sumber : http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata/Buku_Kesatu


NAMA : ADINDA WILLIA MAYANGSARI
NPM : 20210169
KELAS : 2 EB 17